Rabu, 18 April 2018

HINA KELANA 102-105

Bab 102. Lenghou Tiong Dilarang Menjabat Ciangbunjin Hing-sanpay
oleh Co Leng-tan
Karena menduga takkan kedatangan tamu, maka para murid juga tidak menyiapkan tempat pondokan dan
makanan bagi tetamu. Mereka cuma sibuk menggosok lantai, mengapur dinding, dan bikin pembersihan di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mana perlu. Masing-masing anak murid itu pun membuat baju dan sepatu baru. The Oh dan lain-lain juga
membuatkan suatu setel jubah hijau bagi Lenghou Tiong untuk dipakai pada hari upacara nanti.
Pagi-pagi hari tanggal 16 bulan dua, waktu Lenghou Tiong bangun, dilihatnya suasana puncak Kian-seng-hong
di Hing-san itu benar-benar meriah. Anak murid Hing-san-pay itu ternyata sangat rajin mengatur perayaan
yang akan dilangsungkan itu. Lenghou Tiong merasa terharu, “Lantaran diriku sehingga kedua suthay tua
mengalami nasib malang, tapi anak muridnya tidak menyalahkan aku, sebaliknya malah menghargai diriku
sedemikian rupa. Maka kalau tidak dapat membalaskan sakit hati kematian ketiga suthay tua, percumalah aku
menjadi manusia.”
Selagi melamun sambil memandangi salju yang menyelimuti puncak gunung di kejauhan, tiba-tiba di jalanan
yang menuju ke atas itu terdengar hiruk-pikuk serombongan orang. Padahal Kian-seng-hong biasanya tenang
dan sunyi, selamanya tak pernah terdengar suara ribut demikian. Biarpun Tho-kok-lak-sian yang suka geger itu
pun tidak sampai gembar-gembor seramai itu, apalagi kedengarannya jumlahnya jauh lebih banyak daripada
enam orang.
Tengah heran, terdengarlah suara langkah orang banyak, beberapa ratus orang telah membanjir ke atas
puncak situ. Seorang paling depan terus berseru, “Terimalah ucapan selamat kami, Lenghou-kongcu!
Bahagialah engkau hari ini!”
Orang itu pendek lagi gemuk, siapa lagi kalau bukan Lo Thau-cu. Di belakangnya tampak ikut Keh Bu-si, Coh
Jian-jiu, Ui Pek-liu, dan lain-lain.
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, cepat ia memapak maju sambil berkata, “Aku menerima pesan terakhir
Ting-sian Suthay dan terpaksa mengetuai Hing-san-pay, sesungguhnya aku tidak berani bikin repot para
kawan. Mengapa kalian malah datang semua ke sini?”
Lo Thau-cu dan rombongannya ini pernah ikut Lenghou Tiong menggempur Siau-lim-si, setelah mengalami
pertarungan mati-matian itu di antara mereka sudah terjalin persahabatan yang kekal. Maka beramai-ramai
mereka lantas merubung maju sambil mengelu-elukan Lenghou Tiong dengan mesranya.
“Setelah mendengar kabar bahwa Lenghou-kongcu telah berhasil menyelamatkan Seng-koh, semua orang
menjadi sangat girang,” demikian Lo Thau-cu berkata. “Tentang Kongcu akan menjabat ketua Hing-san-pay,
hal ini sudah tersiar dengan menggemparkan Kangouw, maka siapa pun sudah mengetahuinya. Dari sebab
itulah kami datang mengucapkan selamat padamu.”
“Kami adalah tamu-tamu yang tidak diundang, maka Hing-san-pay tentu tidak menyediakan ransum bagi
orang-orang kasar seperti kami ini, maka soal makanan dan arak kami telah bawa sendiri dan sebentar juga
akan tiba,” sambung Ui Pek-liu.
“Wah, bagus sekali!” kata Lenghou Tiong dengan girang. Ia pikir suasana demikian menjadi mirip sekali dengan
pertemuan besar di Ngo-pah-kang dahulu.
Tengah bicara kembali ada beberapa ratus orang membanjir ke atas lagi.
“Lenghou-kongcu,” kata Keh Bu-si dengan tertawa, “kita adalah orang sendiri, maka anak murid perempuanmu
yang lemah lembut itu tidak perlu meladeni orang-orang kasar seperti kami ini. Biarlah kita pakai acara bebas,
kami akan melayani kami sendiri.”
Sementara itu suasana di atas Kian-seng-hong sudah ramai sekali, murid Hing-san-pay sama sekali tak
menduga akan kedatangan tamu sedemikian banyak, banyak di antara mereka ikut gembira. Tapi beberapa di
antaranya yang lebih tua dan berpengalaman merasa tamu-tamu itu dikenalnya sebagai tokoh-tokoh kalangan
sia-pay yang biasanya tidak kenal-mengenal dengan pihak Hing-san-pay, tak terduga hari ini berbondongbondong
telah sama datang, apalagi ciangbunjin baru itu kelihatan sangat akrab menyambut kedatangan
mereka, mau tak mau anak murid Hing-san-pay yang lebih tua itu merasa serbabingung.
Siangnya muncul pula beberapa laki-laki yang membawa ayam, itik, kambing, dan kerbau, sayur-mayur dan
beras tepung, rupanya itulah perbekalan rombongan Lo Thau-cu yang dikatakan tadi.
Lenghou Tiong pikir Hing-san-pay memuja Dewi Koan-im, sekarang dirinya baru saja menjabat ketua sudah
lantas sembelih kambing dan potong kerbau, rasanya terlalu mencolok dan tidak enak terhadap leluhur HingDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
san-pay. Segera ia perintahkan rombongan tukang masak itu memindahkan “dapur umum” ke pinggang
gunung yang agak jauh. Walaupun begitu asap dan bau masakan daging itu toh teruar juga ke atas puncak.
Keruan para nikoh sama mengerut kening.
Setelah makan siang, para tamu sama duduk memenuhi pelataran di depan biara induk. Lenghou Tiong sendiri
duduk di ujung barat, para murid Hing-san-pay sama berdiri di belakangnya menurut urut-urutan usia dan
tingkatan masing-masing.
Selagi upacara akan dimulai, tiba-tiba terdengar suara seruling, serombongan orang muncul pula ke atas
puncak mengiringi dua orang tua berbaju hitam. Seorang tua yang berada paling depan itu berseru,
“Tonghong-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau mengutus kedua Kong-beng-sucia untuk memberi selamat kepada
Lenghou-tayhiap yang diangkat menjadi ketua Hing-san-pay. Semoga Hing-san-pay berkembang lebih jaya dan
wibawa Lenghou-tayhiap lebih gemilang di dunia persilatan.”
Mendengar ucapan itu, semua orang sama berseru gempar. Sedikit-banyak orang-orang Kangouw seperti Lo
Thau-cu dan lain-lain itu ada hubungannya dengan Mo-kau, malahan banyak di antaranya telah minum “Samsi-
nau-sin-tan” yang diberi Tonghong Put-pay, yaitu obat racun yang bekerja secara berkala. Maka begitu
mendengar “Tonghong-kaucu” disebut, mereka menjadi sangat ketakutan.
Kebanyakan di antara mereka pun kenal kedua kakek utusan Tonghong Put-pay itu, yang di sebelah kiri, yaitu
yang bicara tadi, bernama Kah Po, bergelar “Wi-bin-cun-cia”, Si Duta Agung Muka Kuning. Sedangkan kakek
sebelah kanan bernama Siangkoan In, berjuluk “Tiau-hiap”, Si Pendekar Rajawali.
Kah Po dan Siangkoan In adalah pembantu utama dan merupakan tangan kanan-kiri Tonghong Put-pay, tinggi
ilmu silat mereka jauh di atas tokoh-tokoh sebangsa pangcu atau congthocu umumnya. Si Muka Kuning Kah Po
asalnya adalah Pangcu Wi-soa-pang di Lembah Hongho, selama berpuluh tahun malang melintang di wilayah
kekuasaannya entah sudah jatuhkan betapa banyak kaum kesatria dan jago persilatan. Kemudian dia
ditaklukkan oleh Tonghong Put-pay, lalu masuk Mo-kau dan menjadilah pembantu utama ketua Mo-kau itu.
Sekarang Tonghong Put-pay mengutus kedua pembantu utamanya datang ke Hing-san, hal ini boleh dikata
suatu penghargaan tertinggi bagi Lenghou Tiong. Maka semua orang lantas berdiri demi tampak datangnya Kah
Po dan Siangkoan In.
Lenghou Tiong juga lantas memapak ke depan, katanya, “Selamanya Cayhe belum kenal Tonghong-kaucu,
banyak terima kasih atas kunjungan Tuan-tuan berdua.”
Ia melihat muka Kah Po kuning seperti malam, kedua pelipisnya menonjol. Sedangkan sinar mata Siangkoan In
tampak berkilat tajam, nyata sekali lwekang kedua orang sangatlah tinggi.
Begitulah Kah Po lantas bicara pula, “Hari bahagia Lenghou-tayhiap ini mestinya Tonghong-kaucu bermaksud
datang sendiri buat memberi selamat, cuma beliau sedang sibuk menghadapi macam-macam pekerjaan
sehingga sukar membagi waktu, untuk ini mohon Lenghou-tayhiap sudi memberi maaf.”
“Ah, mana aku berani,” sahut Lenghou Tiong. Dalam hati ia pikir kalau melihat lagak utusan Tonghong Put-pay
ini, agaknya Yim-kaucu belum berhasil merebut kembali kedudukan kaucunya. Dan entah bagaimana keadaan
Yim-kaucu itu bersama Hiang-toako serta Ing-ing.
Dalam pada itu Kah Po tampak miringkan tubuhnya dan mengacungkan sebelah tangan ke belakang sambil
berkata, “Sedikit oleh-oleh ini adalah tanda mata dari Tonghong-kaucu, mohon Lenghou-ciangbun sudi
menerimanya.”
Dan di tengah suara tetabuhan dan tiupan seruling terlihatlah ratusan orang menggotong empat puluh buah
peti besar ke depan. Setiap peti itu digotong oleh empat laki-laki kekar, melihat tindakan penggotongpenggotong
yang berat itu dapat dibayangkan isi peti tentu juga tidak ringan.
Cepat Lenghou Tiong berkata, “Ah, kunjungan Tuan-tuan berdua saja bagi Lenghou Tiong sudah merupakan
suatu kehormatan besar, masakah Cayhe berani pula menerima hadiah sebesar ini. Harap disampaikan kepada
Tonghong-kaucu bahwa Cayhe mengucapkan banyak terima kasih. Pada umumnya anak murid Hing-san-pay
hidup secara sederhana sehingga tidak memerlukan barang-barang semewah dan sebanyak ini.”
“Jika Lenghou-ciangbun tidak sudi menerima, maka Cayhe dan Siangkoan-heng yang menjadi serbasusah,”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ujar Kah Po. Lalu ia berpaling kepada Siangkoan In dan bertanya, “Betul tidak, Saudaraku?”
“Betul!” kata Siangkoan In. Sungguh di luar dugaan, begitu keras dan lantang suaranya sehingga anak telinga
orang-orang lain serasa tergetar. Mungkin dia sendiri pun tahu suaranya teramat keras, maka biasanya dia
tidak banyak bicara, sejak datangnya tadi juga baru sekarang ia mengucapkan sebuah kata “betul” itu.
Lenghou Tiong menjadi serbaberat menghadapi persoalan ini. Hing-san-pay adalah golongan cing-pay yang
tidak bisa hidup bersama Mo-kau. Apalagi Yim-kaucu dan Ing-ing selekasnya juga akan meluruk dan bikin
perhitungan kepada Tonghong Put-pay, mana boleh aku menerima sumbanganmu pula? Demikian ia
menimbang-nimbang.
Kemudian ia berkata pula, “Harap Kah-heng berdua suka sampaikan kepada Tonghong-siansing bahwa
sumbangannya ini sekali-kali tak berani kuterima. Bila kalian tidak mau membawa pulang barang-barang
sumbangan ini, terpaksa Cayhe menyuruh orang mengantar ke sana.”
Kah Po tersenyum, jawabnya, “Apakah Lenghou-ciangbun mengetahui apa isi ke-40 peti ini?”
“Sudah tentu tidak tahu,” sahut Lenghou Tiong.
“Bila Lenghou-ciangbun sudah melihat isinya tentu takkan menolak lagi,” ujar Kah Po dengan tertawa.
“Sesungguhnya isi ke-40 peti itu juga tidak seluruhnya adalah sumbangan Tonghong-kaucu, tapi sebagian
harus diserahkan kepada Lenghou-ciangbun sendiri, antaran kami ini boleh dikata mengembalikan barangnya
kepada pemiliknya saja.”
Lenghou Tiong menjadi heran. “Apa, kau bilang barangku? Barang apakah itu?” tanyanya bingung.
Kah Po maju selangkah dan bicara dengan suara tertahan, “Sebagian besar di antaranya adalah pakaian,
perhiasan, dan barang-barang keperluan sehari-hari yang ditinggalkan Yim-siocia di Hek-bok-keh, sekarang
Tonghong-kaucu menyuruh kami antar ke sini agar bisa dipakai oleh Yim-siocia. Sebagian pula di antaranya
adalah sumbangan Kaucu kepada Lenghou-ciangbun dan Yim-siocia, oleh karena itu harap Lenghou-ciangbun
jangan sungkan-sungkan lagi dan sudi menerimanya. Haha!”
Watak Lenghou Tiong memang suka blakblakan dan tidak suka pelungkar-pelungker, melihat maksud
sumbangan Tonghong Put-pay itu memang sungguh-sungguh, apalagi sebagian barang-barang itu adalah milik
Ing-ing, maka ia pun tidak menolak lagi, sambil bergelak tertawa ia berkata, “Haha, baiklah kuterima. Banyak
terima kasih.”
Pada saat itulah seorang murid perempuan tampak mendekati dan melapor, “Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay
datang sendiri untuk memberi selamat.”
Lenghou Tiong terkejut, cepat ia memburu ke sana untuk menyambut. Dilihatnya Tiong-hi Tojin bersama
delapan muridnya sedang naik ke atas. Lenghou Tiong membungkukkan tubuh memberi hormat dan menyapa,
“Atas kunjungan Totiang ini, sungguh Lenghou Tiong merasa sangat berterima kasih.”
“Lenghou-laute dengan bahagia diangkat sebagai ketua Hing-san-pay, berita ini sungguh sangat
menggirangkan Pinto,” sahut Tiong-hi Tojin. “Kabarnya Hong-ting dan Hong-sing Taysu dari Siau-lim juga akan
datang memberi selamat. Entah mereka berdua sudah tiba belum?”
Keruan Lenghou Tiong tambah tercengang, sahutnya, “Wah, ini... ini....”
Pada saat itulah jalan pegunungan itu tampak muncul pula serombongan hwesio, dua orang paling depan jelas
adalah Hong-ting dan Hong-sing Taysu.
“Tiong-hi Toheng, cepat amat langkahmu sehingga mendahului kami,” seru Hong-ting Taysu dari jauh.
Cepat Lenghou Tiong memapak ke depan dan berseru, “Kunjungan kedua Taysu sungguh suatu kehormatan
besar bagi Lenghou Tiong.”
Dengan tertawa Hong-sing Taysu menjawab, “Lenghou-siauhiap, kau sendiri sudah tiga kali berkunjung ke
Siau-lim-si, sekarang kami balas berkunjung satu kali ke Hing-san sini kan cuma sekadar kunjungan timbal
balik saja.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitulah Lenghou Tiong menyongsong rombongan-rombongan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay itu ke atas.
Melihat ketua-ketua dari Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sendiri yang datang, hal ini sungguh membikin para
jagoan Kangouw sama terperanjat. Kah Po dan Siangkoan In saling pandang sekejap, mereka anggap tidak
tahu saja kedatangan Tiong-hi Tojin, Hong-ting Taysu, dan rombongannya.
Lalu Lenghou Tiong menyilakan Hong-ting dan lain-lain ke tempat duduk yang paling terhormat. Dalam hati ia
tidak habis pikir kunjungan tetamunya yang luar biasa itu. Ia ingat dahulu waktu suhunya menjabat ketua Hoasan-
pay, pihak Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay hanya kirim utusan untuk mengucapkan selamat. Sekarang
ketua-ketua kedua aliran teragung di dunia persilatan ini ternyata sudi berkunjung sendiri padanya, apakah
mereka benar-benar datang memberi selamat atau masih ada maksud tujuan lain?
Sementara itu tamu-tamu yang berdatangan masih tidak terputus-putus, kebanyakan adalah jago-jago yang
pernah ikut menggempur Siau-lim-si tempo hari. Menyusul utusan-utusan Kun-lun-pay, Tiam-jong-pay, Go-bipay,
Kong-tong-pay, Kay-pang, dan lain-lain juga tiba dengan membawa sumbangan-sumbangan dan kartu
ucapan selamat dari ketua masing-masing.
Begitu banyak tamu-tamu yang datang itu ternyata tiada terdapat utusan-utusan dari Ko-san-pay, Hoa-sanpay,
dan Thay-san-pay.
Dalam pada itu terdengarlah suara petasan yang ramai, rupanya sudah tiba waktunya upacara dilangsungkan.
Lenghou Tiong berbangkit dan memberikan hormat kepada para hadirin sambil mengucapkan sepatah dua kata
pengantar. Di tengah suara tetabuhan kecer dan keleningan, anak murid Hing-san-pay mulai berbaris ke
tengah pelataran dengan dipimpin oleh keempat murid tertua, yaitu Gi-ho, Gi-jing, Gi-cin, dan Gi-cit. Keempat
murid tertua itu menghadap ke depan Lenghou Tiong dan memberi hormat. Gi-ho berkata, “Keempat alat
keagamaan ini adalah pusaka warisan dari cikal bakal Hing-san-pay Hiau-hong Suthay, biasanya berada di
bawah penguasaan ciangbunjin, maka ciangbunjin baru sekarang, Lenghou-suheng, diharap sudi
menerimanya.”
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu keempat murid tertua itu menyerahkan alat-alat keagamaan yang mereka
bawa itu kepada Lenghou Tiong. Yaitu sejilid kitab, sebuah bok-hi (kentung kecil berbentuk ikan dari kayu),
serenceng tasbih, dan sebatang pedang pendek.
Rada kikuk juga Lenghou Tiong diharuskan menerima bok-hi dan tasbih segala, soalnya dia toh tidak pernah
sembahyang dan baca kitab. Tapi terpaksa diterimanya sambil menunduk.
Lalu Gi-jing membuka sebuah kitab dan berseru, “Empat pantangan besar Hing-san-pay. Pertama, pantang
membunuh yang tak berdosa. Kedua, pantang membikin onar dan melakukan kejahatan. Ketiga, dilarang
membangkang atasan dan berkhianat. Keempat, dilarang bergaul dengan golongan sesat dan penjahat. Untuk
mana hendaklah Ciangbun-suheng memberi teladan dan memimpin para Tecu dengan bijaksana.”
Kembali Lenghou Tiong mengiakan. Tapi dalam hati ia pikir larangan keempat tentang tidak boleh bergaul
dengan golongan sesat dan orang jahat segala rasanya sukar dijalankan. Yang jelas tetamu yang hadir
sekarang ada sebagian besar terdiri dari golongan sia-pay.
Kemudian Gi-cin berkata, “Sekarang silakan Ciangbun-suheng masuk biara untuk sembahyang kepada arwah
para leluhur Hing-san-pay kita.”
Lenghou Tiong mengiakan lagi. Tapi sebelum dia melangkah, tiba-tiba dari jalan sana ada orang berteriak,
“Perintah dari Co-bengcu Ngo-gak-kiam-pay bahwa Lenghou Tiong tidak boleh menyerobot kedudukan ketua
Hing-san-pay.”
Lenyap suara itu, muncul secepat terbang lima orang, di belakangnya menyusul pula beberapa puluh orang.
Kelima orang di depan itu masing-masing membawa sebuah panji sulam. Itulah panji persekutuan Ngo-gakkiam-
pay.
Kira-kira beberapa meter di depan Lenghou Tiong, kelima orang itu lantas berdiri berjajar. Yang berdiri di
tengah adalah seorang pendek gemuk, berwajah kekuning-kuningan dan berusia 50-an.
Segera Lenghou Tiong mengenal orang itu sebagai Lim Ho yang berjuluk “Tay-im-yang-jiu”, yaitu salah
seorang tokoh terkemuka Ko-san-pay. Waktu bertarung di daerah Holam tempo hari kedua tangan Lim Ho
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pernah ditembus oleh tusukan pedang Lenghou Tiong. Jadi di antara mereka sudah terikat permusuhan.
“O, kiranya Lim-heng adanya,” demikian Lenghou Tiong menyapa.
Lim Ho mengebaskan panji yang dipegangnya itu, katanya, “Hing-san-pay adalah anggota Ngo-gak-kiam-pay,
maka harus tunduk kepada perintah Co-bengcu.”
“Tapi setelah aku menjabat ketua Hing-san-pay, apakah selanjutnya masih menjadi anggota Ngo-gak-kiam-pay
atau tidak masih harus kupikirkan dulu,” sahut Lenghou Tiong dengan tersenyum.
Sementara itu, beberapa puluh orang di belakang tadi juga sudah merubung tiba. Kiranya terdiri dari anak
murid Ko-san-pay, Heng-san-pay, Hoa-san-pay, dan Thay-san-pay. Delapan orang Hoa-san-pay adalah para
sute Lenghou Tiong, orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain juga sebagian besar sudah dikenalnya. Beberapa
puluh orang itu berbaris menjadi empat kelompok, semuanya siap siaga dan tidak buka suara.
Lim Ho lantas bicara pula, “Selamanya Hing-san-pay diketuai oleh kaum nikoh. Sebagai orang lelaki mana
boleh Lenghou Tiong melanggar peraturan Hing-san-pay yang sudah turun-temurun ratusan tahun ini?”
“Peraturan dibuat oleh manusia dan tentu pula dapat diubah oleh manusia, hal ini adalah urusan dalam Hingsan-
pay kami, orang luar tidak perlu ikut campur,” sahut Lenghou Tiong.
Serentak pula terdengar caci maki Lo Thau-cu dan kawan-kawannya kepada Lim Ho, “Huh, urusan Hing-sanpay
sendiri, peduli apa dengan Ko-san-pay kalian?”
“Hm, bengcu apa segala? Bengcu kentut anjing!”
“Hayolah lekas enyah dari sini saja!”
“Orang-orang yang bermulut kotor ini kerja apakah di sini?” tanya Lim Ho kepada Lenghou Tiong.
“Mereka adalah kawan-kawanku yang hadir mengikuti upacara,” sahut Lenghou Tiong.
“Itu dia,” kata Lim Ho. “Coba katakan padaku, apa larangan keempat dari peraturan Hing-san-pay kalian?”
“Larangan keempat itu menyatakan dilarang bergaul dengan orang jahat,” sahut Lenghou Tiong sengaja.
“Memang, manusia semacam Lim-heng sudah tentu takkan digauli oleh Lenghou Tiong.”
Maka gemuruhlah suara tawa orang ramai, banyak di antaranya berteriak-teriak, “Nah, lekas enyah dari sini
manusia jahat!”
Lim Ho terpaksa berpaling dan bicara kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, “Kedua Tayciangbun adalah
tokoh yang diagungkan pada dunia persilatan zaman ini, sekarang mohon memberi penilaian yang adil. Dengan
mendatangkan setan iblis sebanyak ini, bukankah Lenghou Tiong sudah melanggar peraturan Hing-san-pay
yang melarang bergaul dengan kaum penjahat. Tampaknya Hing-san-pay yang punya nama baik selama
beratus-ratus tahun ini akan runtuh begitu saja, masakah Locianpwe berdua dapat tinggal diam?”
“Tentang ini... ini....” kata Hong-ting Taysu sambil berdehem, ia pikir ucapan orang she Lim ini memang
beralasan, sebagian besar yang hadir ini memang tergolong orang sia-pay, masakah Lenghou Tiong harus
disuruh mengusir orang-orang sebanyak itu?
Pada saat itulah tiba-tiba dari jalanan sana berkumandang suara seorang perempuan, “Yim-siocia dari Tiauyang-
sin-kau tiba!”
Terkejut dan girang Lenghou Tiong tak terkira, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, “He, Ing-ing juga datang!”
Cepat ia menyongsong ke ujung jalan sana, dilihatnya dua lelaki kekar menggotong sebuah tandu sedang
mendaki ke atas secepat terbang. Di belakang tandu mengikuti empat dayang berbaju hijau.
“Lihatlah, sampai tokoh terkemuka Mo-kau juga datang, bukankah sudah jelas bergaul dengan kaum jahat?”
ejek Lim Ho dengan suara keras.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sementara itu demi mendengar kedatangan Ing-ing, sebagian besar jago-jago yang hadir itu pun sama
menyongsong ke jalanan sana sambil bersorak gemuruh.
Diam-diam orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain sama kebat-kebit melihat kekuatan lawan yang jauh lebih
besar itu, kalau sampai terjadi pertempuran tentu sukar dibayangkan bagaimana jadinya.
Dalam pada itu tandu kecil telah sampai di tengah pelataran dan diturunkan ke tanah, di mana tirai terbuka,
keluarlah seorang gadis jelita berbaju hijau muda. Siapa lagi dia kalau bukan Ing-ing.
“Seng-koh! Hidup Seng-koh!” serentak para jago bersorak sembari membungkukkan tubuh. Jelas mereka
sangat hormat dan segan kepada Ing-ing, tapi rasa girang mereka pun timbul dari lubuk hati yang setulusnya.
“Kau pun datang, Ing-ing?” Lenghou Tiong menyapa sambil mendekati dengan tersenyum.
“Hari ini adalah hari bahagiamu, mana boleh aku tidak datang?” sahut Ing-ing dengan senyuman manis.
Pandangannya menyoroti sekelilingnya melintasi muka setiap hadirin, lalu ia sedikit membungkuk tubuh
kepada Hong-ting dan Tiong-hi berdua dan berseru, “Hongtiang Taysu, Ciangbun Totiang, terimalah salamku!”
Hong-ting dan Tiong-hi sama membalas hormat sambil berpikir, “Betapa pun akrabnya dengan Lenghou Tiong
mestinya jangan datang kemari, sekarang Lenghou Tiong benar-benar dibuatnya serbasusah.”
Tiba-tiba Lim Ho berseru pula, “Nona ini adalah tokoh penting dari Hek-bok-keh, betul tidak, Lenghou Tiong?”
“Benar, mau apa?” sahut Lenghou Tiong.
“Larangan keempat Hing-san-pay menetapkan ‘dilarang bergaul dengan kaum jahat’. Bila kau tidak putuskan
hubungan dengan manusia-manusia sesat dan jahat ini tidak boleh kau menjadi ketua Hing-san-pay,” kata Lim
Ho.
“Tidak boleh ya tidak boleh, memangnya kenapa?” jawab Lenghou Tiong.
Alangkah mesranya perasaan Ing-ing mendengar ucapan itu. Tanyanya kemudian, “Dari manakah kawan ini?
Berdasarkan apa dia mencampuri urusan Hing-san-pay kalian?”
“Dia mengaku diutus oleh Co-ciangbun dari Ko-san-pay, panji yang dia pegang itu adalah panji kebesaran Cobengcu,”
kata Lenghou Tiong. “Hm, janganlah cuma sebuah panji kecil begitu, sekalipun Co-ciangbun datang
sendiri juga tidak berhak mencampuri urusan Hing-san-pay kami.”
“Tepat,” kata Ing-ing sambil mengangguk. Ia menjadi gemas juga bila teringat kelicikan Co Leng-tan ketika
pertandingan di Siau-lim-si tempo hari sehingga membikin ayahnya terluka dan hampir-hampir celaka. Ia
berkata pula, “Siapa bilang itu panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay? Dia penipu....” belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong tubuhnya melesat ke sana, tahu-tahu sebelah tangannya sudah bertambah sebilah pedang
pendek, secepat kilat terus menikam ke dada Lim Ho.
Sama sekali Lim Ho tidak menduga bahwa gadis jelita itu sedemikian gapah, tanpa sesuatu petunjuk apa-apa
tahu-tahu lantas menerjangnya. Untuk menangkis terang tidak sempat lagi, terpaksa Lim Ho mengegos ke
samping. Ia tidak menduga serangan Ing-ing itu cuma serangan pancingan belaka, baru saja tubuhnya
menggeser, tahu-tahu pegangannya terasa kendur, panji yang terpegang di tangan kanannya dirampas oleh si
nona.
Gerak tubuh Ing-ing tidak lantas berhenti, berturut-turut pedangnya menikam lima kali dan sekaligus lima
buah panji sulam sudah dirampasnya. Gerakan yang dia gunakan sama, lima kali serangan selalu sama, namun
cepat luar biasa sehingga sebelum lawan sempat berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu panji mereka sudah
berpindah tangan. Lalu Ing-ing memutar ke belakang Lenghou Tiong, katanya, “Engkoh Tiong, panji-panji ini
semuanya palsu. Mana bisa dikatakan panji Ngo-gak-kiam-pay, ini kan Ngo-tok-ki (Panji Pancabisa) milik Ngosian-
kau.”
Waktu dia membentang kelima panji sulam yang dipegangnya itu, tertampak dengan jelas panji-panji itu
masing-masing tersulam gambar ular, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak yang berbisa. Jadi sama
sekali bukan panji Ngo-gak-kiam-pay.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lim Ho dan kawan-kawannya melongo, terkejut dan tak bisa bicara. Sebaliknya Lo Thau-cu dan kawankawannya
lantas bersorak memuji. Mereka tahu begitu merampas panji-panji lawan segera Ing-ing
menukarnya dengan Ngo-tok-ki. Cuma bekerja Ing-ing itu teramat cepat sehingga tiada seorang pun melihat
cara bagaimana dia bisa menukar panji-panji yang berlainan itu.
“Na-kaucu!” seru Ing-ing.
Segera seorang wanita cantik berdandan suku bangsa Miau tampil ke depan dan menjawab, “Adakah Seng-koh
memberi perintah?”
Dia bukan lain adalah Na Hong-hong, ketua Ngo-tok-kau yang terkenal.
“Ngo-tok-ki agamamu ini mengapa bisa jatuh di tangan orang Ko-san-pay?” tanya Ing-ing.
“Anak murid Ko-san-pay ini adalah teman-teman akrab anak buah perempuanku, mungkin mereka telah pakai
kata-kata manis dan membujuknya sehingga Ngo-tok-ki agama kami ini tertipu olehnya,” jawab Na Hong-hong
dengan tertawa.
“O, begitu. Ini kukembalikan panji-panjimu,” kata Ing-ing sambil melemparkan kelima buah panji itu.
“Terima kasih Seng-koh,” sahut Na Hong-hong sembari menyambuti panji-panji itu.
“Perempuan siluman, di depanku juga berani pakai permainan gila begitu, lekas kembalikan panji-panji kami,”
Lim Ho mendamprat.
“Kau ingin Ngo-tok-ki, kenapa tidak minta kepada Na-kaucu saja?” ujar Ing-ing.
Dengan mendongkol terpaksa Lim Ho berpaling kepada Hong-ting dan Tiong-hi, katanya, “Hongtiang Taysu dan
Tiong-hi Totiang, hendaklah kalian berdua tokoh agung sudi memberi keadilan.”
“Tentang peraturan Hing-san-pay memang... memang ada satu pasal yang melarang bergaul dengan orang
jahat,” kata Hong-ting. “Cuma... cuma hari ini banyak kawan Kangouw yang hadir mengikuti upacara sehingga
terpaksa Lenghou-ciangbun tak bisa menutup pintu dan membikin malu tamunya....”
“Apakah orang seperti... seperti dia itu juga kawan Lenghou Tiong?” seru Lim Ho sambil menuding seorang di
tengah orang banyak.
Ternyata orang yang ditunjuk itu adalah “Ban-li-tok-heng” Dian Pek-kong yang terkenal sebagai maling cabul
yang jahat.
“Dian Pek-kong, kau mau apa datang ke Hing-san sini?” tanya Lim Ho dengan bengis.
“Cayhe datang ke sini untuk berguru,” jawab Dian Pek-kong.
“Berguru?” Lim Ho menegas.
“Betul,” sahut Pek-kong. Tiba-tiba ia mendekati Gi-lim, lalu berlutut dan menyembah, “Suhu, terimalah hormat
muridmu, Dian Pek-kong.”
Keruan wajah Gi-lim merah malu. “Kau... kau....” dengan tergagap ia mengegos ke samping untuk menghindari
hormat orang.
Semua orang menjadi terheran-heran melihat seorang laki-laki tinggi besar sebagai Dian Pek-kong itu kok
memanggil suhu kepada Gi-lim yang muda jelita itu. Seluk-beluk ini hanya diketahui oleh Lenghou Tiong saja
karena pertaruhan kata-kata yang pernah diucapkan di masa dahulu, sungguh tidak nyana Dian Pek-kong
benar-benar telah menyembah dan mengangkat Gi-lim sebagai suhu.
“Ya, kalau Dian-siansing benar-benar mau insaf dan kembali ke jalan yang benar, apa salahnya? Betul tidak,
Hong-ting Taysu?” ujar Ing-ing. “Bukankah sang Buddha mengatakan, siapa pun yang mau menyadari
kesalahannya akan diberi jalan pembaruan. Betul tidak?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Benar,” sahut Hong-ting. “Secara sadar Dian-siansing mengabdikan diri ke dalam Hing-san-pay, ini benarbenar
suatu keuntungan bagi dunia persilatan.”
“Nah, dengarkan, kawan-kawan. Kedatangan kita hari ini adalah untuk mengabdi ke dalam Hing-san-pay,
asalkan Lenghou-ciangbun sudi menerima, maka kita lantas terhitung anak buah Hing-san-pay. Dan kalau
sudah menjadi anak buah Hing-san-pay apakah dapat dianggap sebagai kaum jahat?” seru Ing-ing.
Baru sekarang Lenghou Tiong paham, rupanya kedatangan Ing-ing dan orang banyak itu memang berencana
untuk membelanya. Ia merasa sangat kebetulan dengan bertambahnya anak buah kaum laki-laki itu, sebab dia
memang lagi serbaragu-ragu karena mesti mengetuai kaum nikoh itu. Dengan suara lantang ia lantas tanya,
“Gi-ho Suci, apakah dalam peraturan pay kita adalah larangan menerima anggota lelaki?”
“Larangan menerima anggota lelaki sih memang tidak ada, cuma... cuma....” rada bingung juga Gi-ho, ia
merasa tidak enak juga karena Hing-san-pay mendadak harus bertambah anggota lelaki sebanyak itu.
Bab 103. Seksi Istimewa Hing-san-pay
Lenghou Tiong lantas menyambung, “Jika kalian mau menjadi anggota Hing-san-pay, ya boleh juga. Cuma
kalian tidak perlu mengangkat guru segala, cukup dianggap sudah menjadi anggota. Untuk selanjutnya Hingsan-
pay boleh mengadakan suatu... eeh suatu... suatu ‘seksi istimewa’. Kukira Thong-goan-kok di sebelah sana
adalah suatu tempat tinggal yang baik bagi kalian.”
Thong-goan-kok adalah suatu lembah tidak jauh di sebelah Kian-seng-hong, puncak Hing-san tertinggi di mana
biara induk Hing-san-pay berada. Meski jarak lembah itu tidak jauh, tapi untuk menuju ke puncak Kian-senghong
harus melalui jalanan yang terjal dan berbahaya. Dengan menempatkan orang-orang kasar itu di lembah
terpencil itu maksud Lenghou Tiong ialah untuk memisahkan mereka dari para nikoh.
Mendengar keputusan Lenghou Tiong itu, Hong-ting Taysu manggut-manggut dan berkata, “Baik sekali cara
mengatur ini. Dengan masuknya para sobat ini ke dalam Hing-san-pay dan terikat pula oleh tata tertib Hingsan-
pay, hal ini benar-benar suatu peristiwa menyenangkan bagi dunia persilatan.”
Karena tokoh seperti Hong-ting Taysu juga berkata demikian, mau tak mau Lim Ho tidak berani merintangi
lagi, terpaksa ia mengemukakan perintah kedua dari Co Leng-tan, katanya, “Bengcu Ngo-gak-kiam-pay ada
perintah pula agar pada pagi hari tanggal 15 bulan tiga nanti setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay hendaknya
berkumpul di Ko-san untuk memilih ciangbunjin dari Ngo-gak-pay. Hendaknya perintah ini dipatuhi dan datang
tepat pada waktunya.”
“Ngo-gak-pay? Jadi gabungan Ngo-gak-kiam-pay sudah ditetapkan? Siapakah yang mengambil prakarsa
peleburan ini?” tanya Lenghou Tiong.
“Yang jelas Ko-san, Heng-san, Thay-san, dan Hoa-san-pay sudah setuju,” sahut Lim Ho. “Jika Hing-san-pay
kalian punya pendirian berbeda, maka itu berarti kalian bermusuhan dengan keempat pay yang lain dan berarti
pula kau mencari penyakit sendiri.”
Lalu ia menoleh dan tanya kepada orang Thay-san-pay yang ikut datang bersamanya itu, “Betul tidak?”
“Betul!” serentak berpuluh orang yang berdiri di belakangnya menjawab.
Lim Ho mendengus dan tidak bicara pula, ia putar tubuh terus melangkah pergi.
“Eh, Lim-losu, kau kehilangan panji, cara bagaimana kau akan menjawab bila ditanya oleh Co-bengcu?” tibatiba
Na Hong-hong berseru sambil tertawa. “Ini, kukembalikan saja panjimu!”
Berbareng itu sebuah panji bersulam terus dilemparkan ke arah Lim Ho.
Memangnya Lim Ho lagi kesal karena kehilangan leng-ki (panji mandat) tadi, ketika tiba-tiba Na Hong-hong
melemparkan sehelai panji kecil ke arahnya, ia pikir ini tentu kau punya Ngo-tok-ki, buat apa aku
mengambilnya? Namun saat itu panji kecil itu sudah menyambar ke mukanya, tanpa pikir ia terus
menangkapnya. Tapi mendadak ia menjerit sendiri sambil melemparkan pula panji kecil itu. Terasa telapak
tangannya panas seperti terbakar. Waktu diperiksa, ternyata telapak tangan telah berubah hitam biru, jelas
panji itu berbisa. Jadi dia telah kena dikibuli Ngo-tok-kau. Keruan ia terkejut dan murka, terus saja ia memaki,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Bedebah! Perempuan hina....”
Dengan tertawa Na Hong-hong menyela, “Lekas kau panggil ‘Lenghou-ciangbun’ dan minta belas kasihannya,
habis itu segera kuberi obat penawarnya bila kau tidak ingin kehilangan sebelah tanganmu yang akan
membusuk dalam waktu singkat.”
Lim Ho cukup kenal betapa lihainya cara Ngo-tok-kau menggunakan racun, hanya ragu-ragu sejenak saja
telapak tangan sudah terasa kaku dan mulai kehilangan daya rasa. Ia pikir segenap kepandaianku adalah
terletak pada kedua tangan, bila kehilangan tangan itu berarti cacat untuk selamanya. Karena cemasnya itu,
terpaksa ia berseru, “Lenghou-ciangbun, kau... kau....”
“Apakah begitu caranya mohon ampun?” ejek Na Hong-hong dengan tertawa.
“Lenghou-ciangbun, Cayhe telah berlaku kasar padamu, harap dimaafkan dan mohon... mohon engkau sudi
memberikan obat... obat penawarnya,” pinta Lim Ho dengan terputus-putus.
Lenghou Tiong tersenyum, katanya kemudian, “Nona Na, kasihan padanya, boleh berikan obat penawarnya!”
Dengan tertawa Na Hong-hong lantas memberi isyarat kepada seorang pengiring perempuan, segera pengiring
itu mengeluarkan sebungkus kecil dan dilemparkan kepada Lim Ho. Dengan tersipu-sipu Lim Ho menangkap
bungkusan kecil itu, lalu berlari pergi di bawah gelak tertawa mengejek orang banyak.
“Para kawan, kalau kalian sudah mau tinggal di Thong-goan-kok, maka kalian harus taat kepada tata tertib pay
kita,” seru Lenghou Tiong dengan lantang. “Sekarang kalian adalah orang Hing-san-pay, sudah tentu kalian
bukan lagi orang-orang sia-pay, tapi selanjutnya kalian harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang luar.”
Serentak rombongan Lo Thau-cu dan lain-lain mengiakan dengan bergemuruh.
Lalu Lenghou Tiong menyambung, “Bila kalian ingin minum arak dan makan daging sih boleh-oleh saja, cuma
orang-orang yang tidak pantang makan untuk selanjutnya dilarang naik ke Kian-seng-hong sini, termasuk aku
sendiri, semua peraturan harus dipatuhi.”
“Siancay! Memang tempat Buddha yang suci ini janganlah dikotori,” ujar Hong-ting Taysu sambil menyebut
Buddha.
“Baiklah, sekarang telah selesai aku diangkat menjadi ciangbunjin,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Tentunya semua orang sudah lapar, lekas siapkan daharan, hari ini kita semua ciacay (makanan sayursayuran),
besok barulah kita makan minum lagi di Thong-goan-kok.”
Selesai dahar, Hong-ting Taysu berkata, “Lenghou-ciangbun, Lolap dan Tiong-hi Toheng ingin berunding sedikit
dengan engkau.”
Lenghou Tiong mengiakan. Ia pikir apa yang akan dibicarakan kedua tokoh terkemuka itu tentulah urusan
penting. Padahal di puncak Kian-seng-hong ini terlalu banyak orang dan bukan suatu tempat bicara yang baik.
Segera ia perintahkan Gi-ho dan lain-lain melayani tetamu, lalu ia berkata kepada Hong-ting dan Tiong-hi, “Di
sebelah puncak ini ada sebuah gunung bernama Cui-peng-san, tebing pegunungan itu sangat terjal dan licin, di
atas gunung ada kuil bernama Sian-kong-si, tempat ini termasuk salah satu pemandangan alam yang indah di
Hing-san. Bilamana kedua Cianpwe ada minat, bagaimana kalau kita pesiar ke sana.”
Dengan rendah hati Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin menerima baik undangan itu dan menyatakan sudah
lama mengagumi tempat termasyhur dengan pemandangan alamnya yang indah itu.
Begitulah Lenghou Tiong lantas membawa kedua tamunya menuruni Kian-seng-hong, sampai di bawah Cuipeng-
san, ketika mendongak ke atas, tertampak di puncak gunung dua buah rumah mencuat di angkasa
seakan-akan terapung di udara, sesuai benar dengan namanya “Sian-kong-si”, Kuil Mengapung di Udara.
Dengan ginkang yang tinggi ketiga orang lantas mendaki ke atas dan tibalah di kuil itu. Sian-kong-si itu terdiri
dari dua buah bangunan, masing-masing bertingkat tiga, jarak kedua bangunan itu ada belasan meter dan di
antara kedua bangunan itu dihubungkan dengan jembatan gantung.
Kuil itu ditunggui seorang perempuan tua. Melihat kedatangan Lenghou Tiong bertiga, perempuan tua itu hanya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
melongo saja, tidak menyapa juga tidak memberi hormat.
Belasan hari yang lalu Lenghou Tiong sudah pernah berkunjung ke tempat ini bersama Gi-ho dan lain-lain dan
diketahui penjaga perempuan ini tuli dan bisu. Maka ia pun tidak menggubrisnya, tapi bersama Hong-ting dan
Tiong-hi mengelilingi bangunan indah itu, kemudian menuju ke jembatan gantung.
Jembatan itu cuma selebar satu meteran, kalau orang-orang biasa berdiri di tengah jembatan itu tentu akan
merasa seakan-akan berdiri di tengah udara, mungkin seketika kaki lantas lemas dan tak berani bergerak. Tapi
mereka bertiga adalah jago silat kelas wahid, berada di atas jembatan yang luar biasa itu mereka malah
merasa bebas lepas, pikiran lapang menggembirakan.
Setelah menikmati pemandangan alam yang menakjubkan itu, kemudian berkatalah Hong-ting Taysu,
“Lenghou-ciangbun, apa maksud tujuan kedatangan Lim-losu dari Ko-san-pay tadi?”
“Menyampaikan perintah Co-bengcu, Wanpwe dilarang menjabat ketua Hing-san-pay,” jawab Lenghou Tiong.
“Apa sebabnya Co-bengcu melarang kau menjadi ketua Hing-san-pay?” tanya Hong-ting.
“Mungkin karena Wanpwe pernah bersikap kasar padanya ketika di kuil agung Siau-lim-si tempo hari, maka
Co-bengcu menjadi benci dan dendam kepadaku,” kata Lenghou Tiong. “Apalagi Wanpwe pernah merintangi
rencananya dalam usaha melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi suatu pay yang besar.”
“Mengapa kau merintangi rencananya itu?” tanya Hong-ting pula.
Lenghou Tiong melengak, seketika merasa sukar untuk memberi jawaban. Akhirnya ia hanya bisa mengulangi,
“Mengapa aku merintangi rencananya?”
Maka Hong-ting bertanya lagi, “Apakah kau merasa usahanya melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu adalah
rencana yang tidak baik.”
“Tatkala itu Wanpwe tidak pernah memikirkan apakah usahanya itu baik atau tidak baik, hanya saja untuk
maksud tujuannya itu Ko-san-pay telah mengancam Hing-san-pay agar menerimanya, bahkan menyaru
sebagai anggota Mo-kau untuk menculik anak murid Hing-san-pay, Ting-cing Suthay dikerubut pula secara keji,
secara kebetulan Wanpwe memergoki perbuatan mereka itu, Wanpwe merasa penasaran dan memberi bantuan
kepada Hing-san-pay. Kupikir kalau peleburan Ngo-gak-kiam-pay adalah suatu usaha yang baik, mengapa Kosan-
pay tidak berunding secara terang-terangan dengan para pemimpin Ngo-gak-kiam-pay yang lain, tapi
pakai cara-cara licik dan keji?”
“Pandanganmu memang betul,” ujar Tiong-hi Tojin sambil manggut-manggut. “Co Leng-tan memang punya
ambisi besar dan ingin menjadi tokoh bu-lim nomor satu. Tapi ia sadar pribadinya sukar mengatasi orang
banyak, maka terpaksa ia gunakan tipu muslihat licik.”
Hong-ting menghela napas, lalu menyambung, “Co-bengcu sebenarnya seorang serbapintar dan merupakan
tokoh bu-lim yang sukar dicari bandingannya. Cuma ambisinya terlalu besar dan bernafsu hendak menjatuhkan
nama Siau-lim dan Bu-tong-pay, untuk maksud tujuan ini terpaksa ia menggunakan macam-macam jalan.”
“Bahwasanya Siau-lim-pay adalah pemimpin dunia persilatan, hal ini telah diakui secara umum selama beratusratus
tahun,” kata Tiong-hi. “Di bawah Siau-lim-pay bolehlah dihitung Bu-tong-pay, selanjutnya adalah Kunlun-
pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, dan lain-lain. Lenghou-hiante, berdiri dan berkembangnya suatu aliran dan
golongan adalah hasil usaha jerih payah tokoh kesatria masing-masing aliran itu, ilmu silat yang diciptakan
adalah kumpulan dan gemblengan selama bertahun-tahun dari sedikit demi sedikit. Tentang bangkitnya Ngogak-
kiam-pay adalah kejadian 60-70 tahun terakhir ini, walaupun cepat perkembangannya, namun dasarnya
tetap di bawah Kun-lun-pay, Go-bi-pay, dan lain-lain, lebih-lebih tak dapat dibandingkan dengan ilmu silat
Siau-lim-pay yang termasyhur.”
Lenghou Tiong mengangguk dan membenarkan.
Lalu Tiong-hi meneruskan, “Di antara berbagai aliran dan golongan itu terkadang memang muncul juga satudua
cerdik pandai dan menjagoi pada zamannya. Tapi melulu tenaga seorang dua saja toh tetap sukar
mengatasi kesatria-kesatria dari berbagai golongan dan aliran itu. Ketika Co Leng-tan mula-mula menjabat
ketua Ngo-gak-kiam-pay, waktu itu juga Hong-ting Taysu sudah meramalkan dunia persilatan selanjutnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tentu akan banyak urusan. Dan dari tingkah laku Co Leng-tan beberapa tahun terakhir ini, nyata benar ramalan
Hong-ting Taysu memang tidak meleset.”
“Omitohud!” Hong-ting menyebut Buddha sambil merangkap kedua tangannya.
Lalu Tiong-hi menyambung pula, “Menjadi bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay adalah langkah pertama usaha Co
Leng-tan. Langkah kedua adalah melebur kelima aliran menjadi satu dan tetap diketuai olehnya. Sesudah Ngogak-
kiam-pay terlebur menjadi satu, dengan sendirinya kekuatan tambah besar dan secara tidak resmi sudah
dapat berjajar dengan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Kemudian dia tentu akan maju selangkah lagi dengan
mencaplok Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, Jing-sia-pay, dan lain-lain sehingga ikut terlebur semua.
Lebih jauh dia tentu akan mencari perkara kepada Tiau-yang-sin-kau, bersama Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay
sekaligus Tiau-yang-sin-kau akan ditumpasnya.”
Dalam lubuk hati Lenghou Tiong yang dalam timbul semacam rasa khawatir, katanya kemudian, “Sungguh
sukar dilakukan usaha-usaha sebesar itu, buat apa dia mesti bersusah payah untuk mencapai maksudnya itu?”
“Hati manusia sukar diukur, segala apa di dunia ini, betapa sukarnya tentu juga ada orang yang ingin
mencobanya,” ujar Tiong-hi. “Soalnya kalau Co Leng-tan dapat menumpas Tiau-yang-sin-kau, maka saat itu
boleh dikata dia akan dipuja oleh orang-orang persilatan sebagai pemimpin besar. Untuk selanjutnya tentunya
tidak sukar baginya buat mencaplok pula Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay.”
“O, kiranya Co Leng-tan ingin dipuja dan memimpin seluruh dunia persilatan,” kata Lenghou Tiong.
“Itulah dia!” sahut Tiong-hi dengan tertawa. “Tatkala mana mungkin dia ingin menjadi raja pula dan sesudah
menjadi raja mungkin ingin hidup abadi tak pernah tua. Inilah sifat manusia yang serakah, sifat yang tidak
kenal puas, sedari dahulu kala memang demikianlah manusia yang berkuasa dan banyak pula yang hancur
karenanya.”
Lenghou Tiong terdiam sejenak, katanya kemudian, “Orang hidup paling-paling beberapa puluh tahun saja,
buat apa mesti bersusah payah begitu? Co Leng-tan ingin menumpas Tiau-yang-sin-kau dan ingin mencaplok
Siau-lim serta Bu-tong-pay, untuk mana entah betapa banyak korban akan timbul?”
“Benar, sebab itulah tugas kita bertiga cukup berat, kita harus mencegah agar maksud Co Leng-tan itu tidak
terlaksana untuk menghindarkan banjir darah di dunia Kangouw,” seru Tiong-hi.
“Wah, mana Wanpwe dapat disejajarkan dengan kedua Cianpwe, pengetahuan Wanpwe teramat cetek dan
terima di bawah pimpinan kedua Cianpwe saja,” kata Lenghou Tiong.
“Tempo hari kau memimpin para kesatria ke Siau-lim-si untuk memapak Yim-siocia, nyatanya tiada satu benda
pun yang kalian ganggu di Siau-lim-si, untuk itu Hongtiang Taysu merasa utang budi kebaikanmu,” kata Tionghi
pula.
Muka Lenghou Tiong menjadi merah, jawabnya, “Wanpwe tempo hari memang sembrono, mohon dimaafkan.”
“Sesudah rombongan kalian pergi, Co Leng-tan dan lain-lain juga mohon diri, tapi aku masih tinggal beberapa
hari di Siau-lim-si dan mengadakan pembicaraan panjang dengan Hongtiang Taysu dan sama-sama
mengkhawatirkan ambisi Co Leng-tan yang tak kenal batas itu,” kata Tiong-hi. “Kemudian kami masing-masing
menerima berita tentang dirimu diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, maka kami berkeputusan akan datang
kemari, pertama untuk memberi selamat kepadamu, kedua juga untuk berunding soal-soal ini.”
“Kedua Cianpwe teramat menghargai Wanpwe, sungguh Wanpwe sangat berterima kasih,” ujar Lenghou Tiong.
“Lim Ho itu menyampaikan perintah Co Leng-tan, katanya pagi hari tanggal 15 bulan tiga segenap anggota
Ngo-gak-kiam-pay harus berkumpul di puncak Ko-san untuk memilih ketua Ngo-gak-pay, sebenarnya hal ini
sudah dalam dugaan Hongtiang Taysu,” kata Tiong-hi lebih lanjut. “Cuma saja kita tidak menduga sedemikian
cepat hal itu akan dilakukan oleh Co Leng-tan. Dia menyatakan hendak memilih ketua Ngo-gak-pay, seakanakan
peleburan Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu sudah terjadi dengan pasti. Sebenarnya menurut perkiraan
kami, dengan watak Bok-taysiansing yang aneh itu, tokoh Heng-san-pay itu pasti tak mau mengekor kepada
Co Leng-tan. Watak Thian-bun Tojin dari Thay-san-pay juga sangat keras, tentu dia pun tidak sudi di bawah
perintah Co Leng-tan. Gurumu Gak-siansing selamanya juga sangat mementingkan sejarah perkembangan
Hoa-san-pay, betapa pun terhapusnya Hoa-san-pay tentu bukan keinginannya. Hanya Hing-san-pay saja,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sayang ketiga tokoh utamanya, ketiga suthay tua berturut-turut telah wafat, anak muridnya tentu tidak mampu
melawan Co Leng-tan, bisa jadi Hing-san-pay akan dapat ditundukkan begitu saja. Tak terduga sebelum wafat
Ting-sian Suthay sudah mempunyai pendirian tegas, dia telah menyerahkan jabatan ketua kepada Lenghoulaute.
Sekarang asalkan Hoa-san, Heng-san, Thay-san, dan Hing-san-pay bersatu padu dan tidak mau dilebur
menjadi Ngo-gak-pay segala, maka muslihat Co Leng-tan tentu akan gagal total.”
“Tapi kalau melihat sikap Lim Ho menyampaikan perintah Co Leng-tan tadi, agaknya Thay-san, Heng-san, dan
Hoa-san-pay sudah berada di bawah pengaruh Ko-san-pay Co Leng-tan,” ujar Lenghou Tiong.
“Benar,” kata Tiong-hi sambil mengangguk. “Memang tindakan gurumu Gak-siansing juga membuat kami
merasa bingung. Kabarnya keluarga Lim dari Hokciu ada seorang muda yang menjadi murid gurumu, entah
betul tidak?”
“Ya, Lim-sute itu bernama Lim Peng-ci,” tutur Lenghou Tiong.
“Konon leluhurnya menurunkan sebuah kitab Pi-sia-kiam-boh yang telah lama tersiar di dunia Kangouw,
katanya ilmu pedang yang tercantum dalam kitab pusaka itu sangat hebat, tentunya Lenghou-laute juga
pernah mendengar hal ini?” tanya Tiong-hi.
Lenghou Tiong mengiakan, lalu ia menceritakan pengalamannya tempo hari, cara bagaimana ia menemukan
sebuah jubah di kediaman lama keluarga Lim di Hokciu, lalu dikerubut oleh orang-orang Ko-san-pay sehingga
dirinya terluka dan jatuh pingsan, dan seterusnya.
Tiong-hi Tojin termenung sejenak, kemudian berkata pula, “Menurut aturan, setelah gurumu menemukan jubah
itu tentunya akan dikembalikan kepada Lim-sute-mu.”
“Akan tetapi kemudian sumoayku toh minta lagi Pi-sia-kiam-boh padaku,” kata Lenghou Tiong. “Tempo hari
waktu di Siau-lim-si, ketika Co Leng-tan bertanding melawan Yim-kaucu, Co Leng-tan telah menggunakan
jarinya sebagai pedang, menurut Hiang-toako, Hiang Bun-thian, katanya yang dimainkan itu adalah Pi-siakiam-
hoat. Pengetahuan Wanpwe teramat cetek, entah apa yang dimainkan Co Leng-tan itu betul Pi-sia-kiamhoat
atau bukan, untuk mana mohon kedua Cianpwe sudi memberi petunjuk.”
Tiong-hi memandang sekejap ke arah Hong-ting Taysu, katanya, “Seluk-beluk persoalan ini silakan Taysu
menjelaskannya untuk Lenghou-laute.”
Hong-ting mengangguk, katanya, “Lenghou-ciangbun, pernahkah kau mendengar nama ‘Kui-hoa-po-tian’?”
“Pernah kudengar cerita guruku, katanya ‘Kui-hoa-po-tian’ adalah kitab pusaka yang paling berharga dalam
ilmu silat,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma sayang katanya kitab itu sudah lama lenyap di dunia persilatan dan
entah berada di mana. Kemudian Wanpwe pernah mendengar pula dari Yim-kaucu, katanya beliau pernah
menyerahkan ‘Kui-hoa-po-tian’ kepada Tonghong Put-pay. Jika demikian, maka kitab pusaka itu sekarang
tentunya berada pada Tiau-yang-sin-kau.”
“Ya, tapi itu cuma setengah bagian saja dan tidak lengkap,” kata Hong-ting.
Lenghou Tiong mengiakan, ia pikir sebentar lagi tentu suatu peristiwa besar dunia persilatan di masa lampau
pasti akan terurai dari mulut Hong-ting Taysu.
Terlihat Hong-ting memandang jauh ke depan, lalu berkata pula, “Hoa-san-pay pernah terbagi dengan Khi-cong
dan Kiam-cong, apakah kau sendiri mengetahui apa sebabnya perguruanmu itu sampai terpecah menjadi dua
sekte?”
Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, “Wanpwe tidak tahu, mohon penjelasan Cianpwe.”
“Bahwasanya tokoh-tokoh angkatan tua Hoa-san-pay pernah saling bunuh-membunuh lantaran terpecahnya
menjadi Khi-cong dan Kiam-cong, hal ini tentunya kau mengetahui, bukan?”
“Benar, cuma suhu tak pernah menerangkan secara jelas,” sahut Lenghou Tiong.
“Pertarungan di antara saudara seperguruan sendiri tentunya bukan suatu peristiwa yang baik, sebab itulah
mungkin Gak-siansing tidak suka banyak bercerita,” ujar Hong-ting. “Tentang pecahnya Hoa-san-pay menjadi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dua sekte, kabarnya juga disebabkan oleh Kui-hoa-po-tian. Menurut cerita yang tersiar, katanya Kui-hoa-potian
itu dikarang bersama oleh sepasang suami istri. Adapun nama kedua orang kosen itu sudah tak bisa
diketahui lagi, ada yang bilang nama sang suami itu mungkin ada sebuah huruf ‘kui’ dan sang istri pakai nama
‘hoa’, maka hasil karya mereka bersama itu diberi nama ‘Kui-hoa-po-tian’, tapi semuanya itu cuma dugaan
saja. Yang jelas diketahui hanya suami istri itu semula sangat baik dan saling cinta-mencintai, tapi kemudian
entah sebab apa keduanya telah berselisih paham. Waktu mereka menciptakan ‘Kui-hoa-po-tian’ itu usia
mereka diperkirakan baru empat puluhan, ilmu silat mereka sedang berkembang dengan pesat. Sesudah
cekcok, sejak itu keduanya menghindari untuk bertemu satu sama lain, karena itu pula sejilid kitab pusaka
yang hebat itu pun terbagi menjadi dua. Selama ini kitab yang dikarang oleh sang suami disebut ‘Kian-keng’
(Kitab Langit) dan ciptaan sang istri disebut ‘Kun-keng’ (Kitab Bumi).”
“Kiranya Kui-hoa-po-tian itu terbagi lagi menjadi kitab Kian dan Kun, baru sekarang Wanpwe mendengar untuk
pertama kalinya,” ujar Lenghou Tiong.
“Tentang nama kitab itu sebenarnya cuma pemberian orang-orang bu-lim saja,” kata Hong-ting. “Selama dua
ratusan tahun ini, agaknya sangat kebetulan juga, selama itu belum pernah ada seorang dapat membaca isi
kedua kitab itu sehingga meleburnya menjadi satu. Bahwa menyimpan kedua kitab itu sekaligus sudah pernah
terjadi. Ratusan tahun yang lalu ketua Siau-lim-si di Poh-thian Hokkian, Ang-yap Siansu namanya, pernah
sekaligus memegang kedua kitab tersebut. Ang-yap Siansu pada zamannya terhitung seorang tokoh yang
mahapintar dan cerdik, menurut tingkat ilmu silat dan kecerdasannya, seharusnya tidak susah baginya untuk
melebur ilmu silat dari kedua kitab Kian dan Kun itu. Tapi menurut cerita murid beliau, katanya Ang-yap Siansu
belum pernah memahami seluruh isi kitab-kitab itu.”
“Agaknya isi kitab itu sangat dalam sehingga tokoh mahacerdas seperti Ang-yap Siansu juga tidak mampu
memahaminya,” kata Lenghou Tiong.
“Ya,” Hong-ting mengangguk. “Lolap dan Tiong-hi Toheng tidak punya rezeki sehingga tak pernah melihat kitab
pusaka itu. Alangkah baiknya bila dapat melihat sekadar membaca isinya saja walaupun kami tidak mampu
memahami ajarannya.”
“Wah, rupanya Taysu menjadi kemaruk kepada urusan duniawi lagi,” kata Tiong-hi dengan tersenyum. “Orang
yang belajar silat seperti kita orang bila melihat kitab pusaka demikian tentu akan lupa makan dan lupa tidur,
tapi kepingin sekali untuk menyelaminya. Akibatnya bukan saja mengganggu, bahkan mendatangkan
kesukaran-kesukaran hidup kita. Maka adalah lebih baik kalau kita tidak sempat membaca kitab pusaka itu.”
Hong-ting terbahak, katanya, “Ucapan Toheng memang benar. Tentang ilmu silat yang tertera di dalam kedua
kitab Kian dan Kun itu mempunyai pengantar dasar yang berbeda, bahkan terbalik menurut cerita. Konon ada
dua saudara seperguruan Hoa-san-pay pernah sempat mengunjungi Siau-lim-si di Hokkian, entah cara
bagaimana mereka telah dapat membaca kitab Kui-hoa-po-tian itu.”
Dalam hati Lenghou Tiong membatin mana mungkin kitab pusaka demikian itu diperlihatkan kepada tetamu
oleh pihak Siau-lim-si, tentunya kedua tokoh Hoa-san-pay itu mencuri baca. Hanya Hong-ting Taysu sengaja
bicara dengan istilah halus sehingga tidak memakai kata-kata “mencuri lihat”.
Dalam pada itu Hong-ting menyambung pula, “Mungkin waktunya terburu-buru, maka kedua orang Hoa-sanpay
itu tidak sempat membaca seluruh isi kitab sekaligus, tapi mereka berdua membagi tugas, masing-masing
membaca setengah bagian. Kemudian sesudah pulang ke Hoa-san, lalu mereka saling menguraikan oleh-oleh
masing-masing dan tukar pikiran. Tak terduga apa yang mereka kemukakan, satu sama lain ternyata tiada
yang cocok, makin dipaparkan makin jauh bedanya. Sebaliknya kedua orang sama-sama yakin akan kebenaran
apa yang telah dibacanya sendiri dan anggap pihak lain yang salah baca atau sengaja tidak mau dikemukakan
terus terang. Akhirnya kedua orang lantas berlatih secara sendiri-sendiri, dengan demikian Hoa-san-pay
menjadi terpecah menjadi dua sekte, yaitu Khi-cong dan Kiam-cong. Kedua suheng dan sute yang tadinya
sangat akrab itu akhirnya berubah menjadi musuh malah.”
“Kedua Locianpwe kami itu tentunya adalah Lin Siau dan Cu Hong beberapa angkatan yang lalu itu,” kata
Lenghou Tiong.
Kiranya Lin Siau adalah cikal bakal sekte Khi-cong dari Hoa-san-pay dan Cu Hong adalah cikal bakal Kiamcong,
yaitu kedua tokoh Hoa-san-pay yang mencuri baca Kui-hoa-po-tian di Siau-lim-si Hokkian sebagaimana
diceritakan Hong-ting. Pecahnya Hoa-san-pay itu terjadi pada puluhan tahun yang lalu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Begitulah, maka kemudian Ang-yap Siansu mengetahui juga akan bocornya Kui-hoa-po-tian itu,” tutur Hongting
lebih lanjut. “Beliau tahu isi kitab pusaka itu terlalu luas dan dalamnya sukar dijajaki, ia sendiri tidak
berhasil meyakinkan ilmunya meski sudah berpuluh tahun menyelaminya. Tapi sekarang Lin Siau dan Cu Hong
hanya membacanya secara kilat, yang dipahami hanya samar-samar saja, akibatnya tentu malah celaka.
Karena itu ia lantas mengutus murid kesayangannya yang bernama To-goan Siansu ke Hoa-san untuk
menasihatkan Lin Siau dan Cu Hong agar jangan meyakinkan ilmu silat dari kitab yang mereka baca itu.”
“Tentunya kedua Locianpwe dari Hoa-san itu tidak mau menurut,” kata Lenghou Tiong.
“Hal ini juga tak bisa menyalahkan mereka berdua,” ujar Hong-ting. “Coba pikir, orang persilatan seperti kaum
kita, sekali mengetahui rahasia sesuatu ilmu silat yang hebat tentu saja ingin sekali meyakinkannya. Tak
terduga, kepergian To-goan Siansu ke Hoa-san itu telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang panjang.”
“Apakah Lin dan Cu berdua cianpwe itu telah berlaku tidak baik kepada beliau?” tanya Lenghou Tiong.
“Bukan begitu, malahan Lin dan Cu berdua sangat menghormat kedatangan To-goan Siansu,” kata Hong-ting.
“Mereka mengaku terus terang telah mencuri baca Kui-hoa-po-tian dan minta maaf, tapi di samping itu mereka
pun minta petunjuk kepada To-goan tentang ilmu silat yang terbaca dari kitab pusaka itu. Mereka tidak tahu
bahwa To-goan sendiri sama sekali tidak tahu ilmu silat yang tertulis dalam kitab itu meski To-goan adalah
murid kesayangan Ang-yap Siansu. Namun To-goan juga tidak mengatakan hal itu, dia mendengarkan uraian
mereka dari isi kitab yang dibacanya di Siau-lim-si itu, sebisanya ia memberi penjelasan, tapi diam-diam ia
mengingat di luar kepala dari apa yang diuraikan Lin dan Cu itu.”
“Dengan demikian To-goan Siansu malahan memperoleh isi kitab pusaka itu dari Lin dan Cu berdua cianpwe?”
kata Lenghou Tiong.
“Benar,” jawab Hong-ting sambil mengangguk. “Cuma apa yang diingat oleh Lin dan Cu dari apa yang mereka
baca itu memangnya tidak banyak, sekarang harus menguraikan pula, tentu saja mengalami potongan lagi.
Konon To-goan Siansu tinggal delapan hari di Hoa-san barulah mohon diri. Tapi sejak itu ia pun tidak pulang ke
Siau-lim-si lagi di Hokkian.”
Lenghou Tiong menjadi heran, “Dia tidak pulang ke Siau-lim-si, lalu pergi ke mana!”
“Inilah tiada orang yang tahu,” jawab Hong-ting. “Cuma tidak lama kemudian Ang-yap Siansu lantas menerima
sepucuk surat dari To-goan Siansu yang memberitahukan bahwa dia takkan pulang ke Siau-lim-si lagi karena
timbul hasratnya untuk hidup kembali di masyarakat ramai.”
Sungguh tak terkatakan heran Lenghou Tiong, ia anggap kejadian demikian sungguh di luar dugaan siapa pun
juga.
“Berhubung dengan peristiwa itu, terjadilah selisih paham di antara Ang-yap Siansu dengan pihak Hoa-san-pay,
tentang perbuatan murid Hoa-san-pay mencuri baca Kui-hoa-po-tian juga lantas tersiar di dunia Kangouw,”
tutur pula Hong-ting. “Selang berapa puluh tahun kemudian terjadi juga sepuluh tianglo dari Mo-kau menyerbu
ke Hoa-san.”
“Sepuluh tianglo Mo-kau menyerbu Hoa-san? Hal ini belum pernah kudengar,” kata Lenghou Tiong.
“Kalau dihitung, waktu kejadian itu gurumu sendiri belum lagi lahir,” ujar Hong-ting. “Sepuluh gembong Mokau
menyerbu Hoa-san, tujuannya adalah Kui-hoa-po-tian itu. Tatkala itu kekuatan Hoa-san-pay lemah dan
tidak mampu melawan gembong-gembong Mo-kau itu. Terpaksa Hoa-san berserikat dengan Thay-san, Hengsan,
Ko-san, dan Hing-san-pay sehingga lahir nama Ngo-gak-kiam-pay. Pertama kali terjadilah pertempuran
sengit di kaki gunung Hoa-san, hasilnya gembong-gembong Mo-kau itu mengalami kekalahan besar. Tapi lima
tahun kemudian, kesepuluh gembong Mo-kau itu berhasil meyakinkan inti ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay dan
meluruk kembali ke Hoa-san....”
Mendengar sampai di sini, teringatlah Lenghou Tiong kepada tengkorak-tengkorak yang dilihatnya di dalam gua
di puncak tertinggi Hoa-san tempo hari, begitu pula ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu. Tanpa terasa
ia bersuara kejut.
Hong-ting melanjutkan pula, “Sekali ini kedatangan kesepuluh gembong Mo-kau itu memang sudah disiapkan,
mereka sudah punya cara-cara untuk mematahkan setiap ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay. Maka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pertempuran kedua ini sangat merugikan Ngo-gak-kiam-pay sehingga sejilid salinan Kui-hoa-po-tian jatuh ke
tangan orang Mo-kau. Hanya saja kesepuluh gembong Mo-kau itu pun tidak dapat meninggalkan Hoa-san
dengan hidup, dapat dibayangkan pertarungan yang terjadi itu tentu sangat dahsyat.”
Cerita Hong-ting ini mengingatkan kembali pada Lenghou Tiong akan tengkorak-tengkorak yang dilihatnya di
dalam gua Hoa-san itu. Pikirnya, “Apakah tengkorak-tengkorak itu adalah gembong-gembong Mo-kau? Kalau
tidak, mengapa mereka mengukir tulisan di dinding gua dan mencaci-maki Ngo-gak-kiam-pay?”
Melihat Lenghou Tiong termangu-mangu, Hong-ting bertanya, “Apakah kau mendengar cerita ini dari gurumu?”
“Tidak pernah,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma Wanpwe pernah menemukan sebuah gua di puncak Hoa-san, di
sana terdapat beberapa rangka tulang belulang serta beberapa tulisan yang terukir di dinding.”
“Hah, ada hal demikian? Apa arti tulisan itu?” tanya Hong-ting.
“Arti tulisan itu mencaci-maki Ngo-gak-kiam-pay, terutama Hoa-san-pay,” jawab Lenghou Tiong.
“Masakah Hoa-san-pay dapat membiarkan tulisan-tulisan demikian tanpa menghapusnya?” ujar Hong-ting.
“Gua itu kutemukan secara tidak sengaja, orang lain tiada yang tahu,” tutur Lenghou Tiong. Lalu ia pun
menceritakan pengalamannya dahulu serta apa yang dilihatnya di dalam gua, yaitu seorang telah
menggunakan kapak untuk menggali gua sampai sedalam beberapa ratus kaki, akhirnya mati kehabisan tenaga
meski tinggal beberapa kaki lagi gua itu sudah bisa ditembus keluar.
“Orang memakai kapak? Apa barangkali Hoan Siong, itu gembong Mo-kau yang berjuluk ‘Tay-lik-sin-mo’ (Iblis
Sakti Bertenaga Raksasa),” kata Hong-ting.
“Benar, benar!” kata Lenghou Tiong. “Memang di antara tulisan-tulisan yang terukir di dinding itu disebut-sebut
juga nama Hoan Siong dan Tio Ho, katanya mereka yang mematahkan Hing-san-kiam-hoat di situ.”
“Tio Ho? Dia adalah ‘Hui-thian-sin-mo’ (Iblis Sakti Juru Terbang) di antara kesepuluh gembong Mo-kau itu!”
seru Hong-ting. “Bukankah dia memakai senjata lui-cin-tang (semacam palu)?”
“Hal ini kurang jelas,” sahut Lenghou Tiong. “Cuma di lantai gua sana memang ada sebuah lui-cin-tang. Aku
masih ingat tulisan yang terukir di dinding gua itu, katanya yang mematahkan Hoa-san-kiam-hoat adalah dua
orang she Thio yang bernama Thio Seng-hong dan Thio Seng-in.”
“Memang benar,” kata Hong-ting. “Thio Seng-hong dan Thio Seng-in adalah dua bersaudara, masing-masing
berjuluk ‘Kim-kau-sin-mo’ (Iblis Sakti Si Kera Emas) dan Pek-goan-sin-mo (Iblis Sakti Orang Hutan Putih).
Konon senjata mereka adalah toya.”
“Benar,” kata Lenghou Tiong. “Menurut ukiran di dinding, memang di situ dilukiskan Hoa-san-kiam-hoat
dikalahkan oleh toya mereka.”
Bab 104. Asal Usul Pi-sia-kiam-hoat
“Kalau dipikir menurut ceritamu, agaknya kesepuluh gembong Mo-kau itu masuk perangkap Ngo-gak-kiampay,
mereka terpancing ke dalam gua sehingga tidak mampu lolos,” kata Hong-ting.
“Ya, Wanpwe juga berpikir demikian,” jawab Lenghou Tiong. “Dari sebab itu gembong-gembong Mo-kau itu
merasa penasaran, lalu mereka mengukir tulisan untuk mencaci maki Ngo-gak-kiam-pay serta melukiskan
jurus-jurus ilmu silat mereka yang telah mengalahkan ilmu pedang Ngo-gak-kiam-hoat agar diketahui
angkatan yang akan datang, supaya angkatan berikutnya mengetahui kematian mereka itu bukan kalah
tanding, tapi terjebak oleh tipu muslihat musuh. Hanya saja di samping beberapa tulang itu terdapat pula
beberapa batang pedang yang jelas adalah senjata dari pihak Ngo-gak-kiam-pay.”
Hong-ting merenung sejenak, katanya kemudian, “Itulah sukar diketahui seluk-beluknya, bisa jadi gembonggembong
Mo-kau itu merampasnya dari orang-orang Ngo-gak-kiam-pay. Tentu apa yang kau temukan di gua
itu sampai kini belum pernah kau ceritakan kepada orang lain?”
“Tidak pernah,” jawab Lenghou Tiong. “Bahkan kepada suhu dan sunio juga belum sempat kuberi tahu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
berhubung macam-macam kejadian selanjutnya.”
“Ilmu pedangmu yang hebat itu apakah juga hasil pelajaranmu dari lukisan-lukisan di dinding gua itu?” tanya
Hong-ting.
“Bukan. Tentang ilmu pedang Wanpwe, selain ajaran suhu kupelajari pula dari Hong-thaysiokco.”
Hong-ting manggut-manggut. Sekian lamanya mereka bicara, sementara itu sang surya sudah hampir
terbenam di ufuk barat yang merah membara.
“Kesepuluh gembong Mo-kau itu akhirnya tewas semua di Hoa-san, tapi Kui-hoa-po-tian yang ditulis oleh Lin
Siau dan Cu Hong juga kena digondol oleh orang Mo-kau,” kata Hong-ting pula. “Maka kitab yang diberikan
Yim-kaucu kepada Tonghong Put-pay itu tentulah catatan tokoh-tokoh Hoa-san itu. Memangnya catatan
mereka itu tidak lengkap, mungkin yang mereka catat itu masih kalah luas daripada apa yang diselami oleh Lim
Wan-tho.”
“Lim Wan-tho?” Lenghou Tiong menegas.
“Ya, dia adalah moyang Lim-sute-mu, pendiri Hok-wi-piaukiok yang terkenal dengan ke-72 jurus Pi-sia-kiamhoat
itu,” kata Hong-ting.
“Apakah Lim-cianpwe ini pun pernah membaca Kui-hoa-po-tian itu?” tanya Lenghou Tiong.
“Dia... dia adalah To-goan Siansu, itu murid kesayangan Ang-yap Siansu,” Hong-ting menerangkan.
Hati Lenghou Tiong tergetar, katanya, “O, kiranya demikian. Ini benar-benar... rada....”
“Aslinya To-goan Siansu memang she Lim sesudah kembali preman, dia lantas memakai she asalnya,” kata
Hong-ting.
“Kiranya moyang Lim-sute yang terkenal dan disegani karena ke-72 jurus Pi-sia-kiam-hoat itu adalah To-goan
Siansu, hal ini sungguh tak... tak terduga sama sekali,” ujar Lenghou Tiong. Seketika adegan-adegan ketika
Lim Cin-lam hampir meninggal dunia di kelenteng bobrok di luar Kota Heng-san dahulu itu terbayang-bayang
pula di dalam benaknya.
“To-goan dan Wan-tho, kedua nama ini hanya terputar balik saja dengan ucapan yang hampir sama, jadi
sesudah To-goan Siansu kembali preman, dia lantas menggunakan she aslinya dengan nama yang dibalik dari
nama agamanya, kemudian ia pun menikah dan punya anak serta mendirikan piaukiok, namanya juga telah
menggegerkan dunia Kangouw. Pendirian Lim-cianpwe itu sangat lurus, meski dia mengusahakan piaukiok, tapi
dia suka membela keadilan dan suka menolong sesamanya tiada ubahnya ketika dia masih menjadi hwesio.
Sudah tentu tidak lama kemudian Ang-yap Siansu mengetahui juga bahwa Lim-piauthau itu adalah bekas
muridnya, tapi kabarnya di antara guru dan murid itu selanjutnya toh tiada saling berhubungan.”
“Lim-cianpwe itu memperoleh intisari Kui-hoa-po-tian dari uraian Lin dan Cu berdua cianpwe Hoa-san-pay, lalu
dari mana pula asal usulnya Pi-sia-kiam-hoat yang terkenal itu?” tanya Lenghou Tiong. “Padahal Pi-sia-kiamhoat
yang dia turunkan kepada anak-cucunya toh tiada sesuatu yang bisa dipuji.”
“Toheng,” tiba-tiba Hong-ting berkata kepada Tiong-hi, “tentang ilmu pedang kau adalah ahlinya dan jauh lebih
paham daripadaku. Tentang seluk-beluk ini hendaklah kau yang bercerita saja.”
“Ucapanmu ini bisa membikin marah padaku bila kita bukan sobat lama,” ujar Tiong-hi dengan tertawa.
“Masakah kau mengolok-olok aku dalam hal ilmu pedang, padahal soal ilmu pedang pada zaman ini siapakah
yang bisa melebihi Lenghou-siauhiap?”
“Meski ilmu pedang Lenghou-siauhiap sangat hebat, tapi pengetahuan tentang ilmu ini toh jauh untuk memadai
dirimu,” ujar Hong-ting. “Kita adalah orang sendiri dan bicara secara blakblakan, buat apa pakai sungkansungkan
segala.”
“Ah, padahal pengetahuanku tentang ilmu pedang masih jauh untuk disebut mahir,” kata Tiong-hi. “Tentang Pisia-
kiam-hoat keluarga Lim sekarang yang rendah dibanding dengan Pi-sia-kiam-hoat Lim Wan-tho yang
pernah menggetarkan Kangouw, memang mencolok sekali bedanya. Dahulu ketua Jing-sia-pay yang disegani di
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
daerah Siamsay pernah dikalahkan oleh Lim Wan-tho, tapi sekarang ilmu pedang Jing-sia-pay malah jauh lebih
kuat daripada ilmu pedang keluarga Lim, di balik hal ini tentu ada sebab-sebab tertentu. Soal ini sudah lama
kurenungkan, malahan pasti juga telah menjadi bahan pemikiran setiap peminat ilmu pedang di dunia
persilatan.”
“Sebabnya keluarga Lim-sute hancur dan berantakan, ayah-bundanya tewas secara mengenaskan semua itu
juga disebabkan belum terpecahkannya tanda tanya ini,” kata Lenghou Tiong.
“Benar,” jawab Tiong-hi. “Nama Pi-sia-kiam-hoat terlalu hebat, namun kepandaian Lim Cin-lam toh sangat
rendah, perbedaan mencolok ini mau tak mau menimbulkan pemikiran orang bahwa dalam hal ini pastilah Lim
Cin-lam yang terlalu dungu dan tidak mampu mempelajari ilmu silat leluhurnya yang lihai itu. Lebih jauh orang
tentu berpikir bila Pi-sia-kiam-boh itu jatuh di tanganku tentu akan dapat menyelami ilmu pedang Lim Wan-tho
yang gilang-gemilang di masa lampau itu. Lenghou-laute, selama ratusan tahun ini tokoh yang terkenal dengan
ilmu pedang memangnya tidak melulu Lim Wan-tho seorang saja, tapi Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay,
Kun-lun-pay, dan lain-lain semuanya mempunyai ahli waris sendiri-sendiri, orang luar tentu tidak sudi
mengincar ilmu pedang keluarga Lim, soalnya kepandaian Lim Cin-lam terlalu rendah seumpama anak kecil
yang membawa emas dan berkeliaran di tengah pasar, tentu saja menarik perhatian setiap orang untuk
mengincar emasnya itu.”
“Lim-cianpwe itu toh murid kesayangan Ang-yap Siansu, maka dia tentu sudah memiliki pula ilmu silat Siaulim-
pay yang hebat, tentang Pi-sia-kiam-hoat apa segala, bukan mustahil cuma namanya saja yang sengaja dia
berikan, tapi sesungguhnya adalah ilmu silat Siau-lim-pay yang dia ubah sedikit di sana-sini.”
“Memang banyak orang juga berpikir demikian,” kata Tiong-hi. “Tapi Pi-sia-kiam-hoat memang sama sekali
berbeda daripada ilmu silat Siau-lim-pay, setiap orang yang mengerti ilmu pedang dengan segera akan tahu
bila melihatnya. Hah, orang yang mengincar kiam-boh keluarga Lim itu walaupun banyak, tapi akhirnya toh si
katai dari Jing-sia-pay adalah orang paling berengsek, dialah yang turun tangan paling dulu. Cuma meski si
katai she Ih itu cukup cekatan, namun otaknya rada bebal, mana bisa dibandingkan gurumu Gak-siansing yang
pendiam, tapi tinggal menarik keuntungannya.”
“Ap... apa yang kau maksudkan, Totiang?” tanya Lenghou Tiong, air mukanya rada berubah.
Tiong-hi tersenyum, jawabnya, “Setelah Lim Peng-ci itu masuk perguruan Hoa-san, dengan sendirinya Pi-siakiam-
boh itu pun dibawanya serta ke situ. Kabarnya Gak-siansing punya seorang putri tunggal yang juga akan
dijodohkan kepada Lim-sute-mu itu, betul tidak? Hah, sungguh suatu muslihat jangka panjang yang
sempurna.”
Semula Lenghou Tiong kurang senang karena Tiong-hi menyinggung nama baik Gak Put-kun, tapi kemudian
mendengar Tiong-hi mengatakan suhunya itu bermuslihat jangka panjang, tiba-tiba ia teringat kepada kejadian
dahulu, waktu itu sang guru telah mengutus Lo Tek-nau menyamar menjadi seorang kakek dan bersama
siausumoaynya membuka sebuah kedai arak di luar Kota Hokciu, tatkala itu ia tidak tahu apa maksud
tujuannya, tapi sekarang demi dipikir jelas tujuannya adalah untuk mengawasi Hok-wi-piaukiok. Padahal
kepandaian Lim Cin-lam sudah diketahui sangat rendah, lalu buat apa usaha gurunya itu kalau bukan
mengincar Pi-sia-kiam-boh. Hanya saja cara gurunya itu adalah pakai akal, tidak pakai kekerasan seperti Ih
Jong-hay dan Bok Ko-hong.
Lalu Lenghou Tiong berpikir pula, “Siausumoay adalah anak gadis muda belia, mengapa suhu membiarkan dia
menonjolkan diri di muka umum dan tinggal di kedai arak itu dalam waktu cukup lama?”
Berpikir sampai di sini merindinglah perasaannya, mendadak ia mengerti duduknya perkara, “Kiranya jauh
sebelum Lim-sute kenal siausumoay memang suhu telah sengaja mengatur dan menghendaki siausumoay
dijodohkan kepada Lim-sute.”
Melihat air muka Lenghou Tiong berubah-ubah masam, Hong-ting dan Tiong-hi tahu pemuda itu biasanya
sangat menghormati sang guru, tentu kata-katanya tadi rada menyinggung perasaannya. Maka Hong-ting
berkata pula, “Apa yang kukatakan tadi hanya obrolanku dengan Tiong-hi Toheng saja dan cuma dugaan pula.
Padahal gurumu itu di dunia persilatan terkenal sebagai kesatria yang alim, mungkin kami yang telah salah
raba dan tidak tepat menilainya.”
Tiong-hi Tojin hanya tersenyum saja. Sebaliknya pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut, ia berharap apa yang
dikatakan Hong-ting tadi tidaklah betul, tapi dalam lubuk hatinya yang dalam toh merasa setiap kata padri
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sakti itu memang benar. Selang sejenak barulah ia bertanya, “Tempo hari ketika di Siau-lim-si, Co-bengcu
telah menempur Yim-kaucu dan menggunakan jari sebagai pedang, menurut Hiang-toako, katanya yang dia
mainkan adalah Pi-sia-kiam-hoat. Tentang hal ini mohon Totiang sudi memberi penjelasan pula.”
“Hal ini aku sendiri pun tidak habis paham,” sahut Tiong-hi. “Bisa jadi Co Leng-tan telah memengaruhi gurumu
dan telah merampas kiam-boh pusakanya, atau mungkin pula gurumu yang mengajak menyelami bersama
ilmu pedang sakti itu dengan Co Leng-tan, sebab kepandaian Co Leng-tan dan kecerdasannya lebih tinggi
daripada gurumu, bila dipelajari dua orang bersama tentu akan bermanfaat pula bagi gurumu. Lagi pula cara
Co Leng-tan memainkan jarinya sebagai pedang itu apakah benar Pi-sia-kiam-hoat adanya juga sukar
dipastikan.”
“Pi-sia-kiam-hoat dari keluarga Lim-sute boleh dikata sudah kami kenal,” ujar Lenghou Tiong. “Apa yang
dimainkan Co-bengcu tempo hari itu memang ada beberapa jurus rada-rada mirip, tapi beberapa jurus di
antaranya sama sekali berlainan.”
Lalu teringat pula apa yang dikatakan Lim Cin-lam di kelenteng bobrok di luar Kota Heng-san ketika mendekati
ajalnya dahulu, maka berkata pula Lenghou Tiong, “Paman Lim ayah Lim-sute itu rupanya juga berpikiran
sempit. Dia minta aku menyampaikan pesan terakhirnya, tapi khawatir pula kalau-kalau aku mencuri baca
kiam-boh pusaka keluarganya.
“Paman Lim telah disiksa oleh orang Jing-sia-pay, kemudian dianiaya pula oleh Bok Ko-hong, dipaksa mengaku
tentang kitab pusakanya itu, ketika Tecu menemukan dia, Paman Lim sudah dalam keadaan payah. Dia minta
Tecu menyampaikan pesan kepada Lim-sute, katanya ada benda-benda yang tertanam di rumah kediaman
lama di Hokciu adalah benda pusaka leluhurnya, Lim-sute disuruh menjaganya dengan baik. Benda yang
dimaksudkan itu adalah jubah yang terdapat Pi-sia-kiam-boh... Ah, benar, aku menjadi ingat bahwa Limcianpwe
itu asalnya adalah hwesio, makanya, di rumah kediamannya yang lama itu ada sebuah ruangan
Buddha dan kiam-boh yang dia tinggalkan tertulis pula pada jubahnya.”
“Ya, kalau dipikir, tentunya apa-apa yang dia dengar dari uraian Lin Siau dan Cu Hong dari Hoa-san-pay itu
kemudian dia catat di atas jubahnya, memang waktu itu dia masih menjadi hwesio,” kata Tiong-hi.
“Sungguh menertawakan pula, ketika memberi pesan, Paman Lim itu menambahkan lagi peringatan, katanya
leluhurnya itu meninggalkan petunjuk bahwa orang yang bukan anak-cucunya tidak boleh membuka dan
melihat isi pusakanya, kalau melanggar pesan ini tentu akan mendatangkan malapetaka. Dengan peringatan ini
nyata Paman Lim itu khawatir aku mengangkangi benda pusaka mereka itu, maka lebih dulu aku telah ditakuttakuti.”
“Pesannya itu apakah kemudian kau teruskan kepada Lim-sute-mu?” tanya Tiong-hi.
“Aku sudah berjanji, sudah tentu kulaksanakan,” jawab Lenghou Tiong.
“Sampai sekarang rahasia ilmu silat yang tercantum di dalam Kui-hoa-po-tian itu sudah terbagi-bagi, di tangan
Mo-kau ada sebagian, di tangan Gak-siansing ada sebagian pula, dan agaknya Co-bengcu dari Ko-san-pay juga
memiliki sebagian,” kata Hong-ting. “Yang dikhawatirkan adalah ambisi Co Leng-tan yang tidak kenal batas,
kalau dia mengetahui bahwa apa yang dia miliki tidaklah lengkap, tentu dia berniat membasmi Mo-kau dan
mencaplok Hoa-san-pay pula agar Kui-hoa-po-tian dapat dimilikinya secara lengkap. Dan dunia persilatan
selanjutnya tentu takkan aman lagi.”
“Kedua Locianpwe tentu mempunyai pandangan luas, kalau menurut kejadian di Siau-lim-si tempo hari, apakah
jelas di antara ilmu silat yang diperlihatkan Co Leng-tan itu terdapat unsur-unsur ilmu silat dari Kui-hoa-potian?”
tanya Lenghou Tiong.
Hong-ting berpikir sejenak, kemudian berkata kepada Tiong-hi, “Bagaimana pendapat Toheng?”
“Kita berdua sama-sama belum pernah melihat Kui-hoa-po-tian itu,” jawab Tiong-hi. “Tapi menurut jalan
pikiran yang sehat, rasanya Ko-san-kiam-hoat tak mungkin melahirkan jurus ilmu pedang demikian, bahkan Co
Leng-tan sendiri betapa pun tidak dapat menciptakannya.”
“Benar,” ujar Hong-ting. “Cuma Co Leng-tan sekalipun sudah melihat Kui-hoa-po-tian atau Pi-sia-kiam-boh,
yang dapat dia pahami tentu juga terbatas, sebab itulah ia pun bukan tandingan Yim-kaucu. Tanggal 15 bulan
depan dia telah mengundang semua anggota Ngo-gak-kiam-pay untuk berkumpul di Ko-san untuk memilih
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pemimpin Ngo-gak-pay, entah bagaimana pendapat Lenghou-siauhiap atas soal ini.”
“Apanya yang perlu dipilih? Jabatan ketua tentunya bukan orang lain kecuali Co Leng-tan sendiri,” ujar Lenghou
Tiong dengan tersenyum.
“Apakah Lenghou-siauhiap juga setuju?” tanya Hong-ting.
“Mereka Ko-san-pay, Heng-san-pay, Thay-san-pay, dan Hoa-san-pay sudah ada persepakatan lebih dulu,
andaikan Hing-san-pay tidak setuju tiada gunanya,” jawab Lenghou Tiong.
“Menurut pendapatku, begitu datang hendaklah Lenghou-siauhiap terus menentang penggabungan Ngo-gakkiam-
pay itu, kukira tidak semua orang menyetujui pendirian Ko-san-pay mereka,” kata Hong-ting.
“Seumpama penggabungan itu sudah tidak dapat ditarik kembali, maka soal ciangbunjin harus ditentukan
dengan bertanding ilmu silat. Bila Lenghou-siauhiap mau berusaha sepenuh tenaga, dalam hal ilmu pedang
tentu kau dapat mengalahkan Co Leng-tan dan biar sekalian kau duduki jabatan ciangbunjin itu.”
“Tapi aku... aku....” Lenghou Tiong melengak bingung.
“Aku pun sependapat dengan Hongtiang Taysu,” sela Tiong-hi Tojin. “Namun kami pun sudah pernah tukar
pikiran tentang dirimu yang terkenal tidak menaruh minat dalam hal kedudukan segala. Bila kau menjabat
ketua Ngo-gak-pay, bicara terus terang, tentu tata tertib Ngo-gak-pay akan menjadi kendur, para anggota
tentu lebih bebas bertindak dan hal ini pun bukan sesuatu yang baik bagi dunia persilatan....”
“Hahaha, ucapan Totiang memang tepat,” seru Lenghou Tiong dengan tertawa. “Aku Lenghou Tiong memang
benar seorang petualang yang kurang tertib hidupnya dan suka pada kebebasan.”
“Hidup kurang tertib tidak terlalu membahayakan orang lain, tapi ambisi yang besar justru banyak
mencelakakan orang,” ujar Tiong-hi. “Bila Lenghou-laute menjadi ketua Ngo-gak-pay, pertama, tentu takkan
menggunakan kekerasan untuk menumpas Mo-kau, kedua, juga takkan mencaplok Siau-lim dan Bu-tong-pay
kami. Ketiga, besar kemungkinan kau pun tak berminat untuk melebur golongan-golongan lain seperti Go-bipay,
Kun-lun-pay, dan lain-lain. Bicara terus terang, kunjungan kami ke Hing-san ini di samping memberi
selamat kepadamu sesungguhnya juga demi kebaikan beribu-ribu kawan persilatan baik dari sia-pay maupun
dari cing-pay.”
“Omitohud! Semoga bencana besar dapat dihindarkan demi keselamatan sesama kita,” kata Hong-ting.
Lenghou Tiong merenung sejenak, lalu berkata, “Jika demikian pesan kedua Cianpwe, sudah tentu Lenghou
Tiong tidak berani menolak, tapi hendaklah kedua Cianpwe maklum pula bahwa Wanpwe masih terlalu hijau
dalam segala hal, menjabat ketua Hing-san-pay saja sudah terlalu, apalagi menjadi ketua Ngo-gak-pay,
mungkin akan lebih ditertawai oleh kesatria di seluruh jagat. Sebab itulah Wanpwe sekali-kali tidak
menginginkan menjadi ketua Ngo-gak-pay, cuma pada tanggal 15 bulan tiga nanti Wanpwe pasti akan hadir ke
Ko-san untuk mengubrak-abriknya, betapa pun niat Co Leng-tan untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay harus
digagalkan. Biasanya Lenghou Tiong tidak mahir berbuat sesuatu yang baik, tapi disuruh membikin onar
tanggung beres.”
“Melulu membikin onar saja juga kurang baik, dalam keadaan terpaksa, kukira kau pun jangan menolak untuk
diangkat menjadi ciangbunjinnya,” kata Tiong-hi.
Namun Lenghou Tiong terus geleng-geleng kepala.
“Jika kau tidak berebut kedudukan ketua dengan Co Leng-tan, akhirnya tentu dia yang diangkat sehingga
jadilah Ngo-gak-kiam-pay terlebur menjadi satu dan orang pertama yang pasti akan dibereskan oleh Co Lengtan
tentulah kau sendiri,” ujar Tiong-hi.
Lenghou Tiong terdiam. Katanya kemudian sambil menghela napas, “Bila demikian jadinya, ya, apa mau dikata
lagi.”
“Seumpama kau dapat menghindarkan diri, tapi apakah anak buahmu akan kau tinggalkan begitu saja?
Bagaimana kalau Co Leng-tan menyembelihi anak murid tinggalan Ting-sian Suthay yang kau pimpin sekarang
ini, apakah kau juga akan tinggal diam?” tanya Tiong-hi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tidak bisa!” seru Lenghou Tiong sambil gebrak langkan di sampingnya.
“Selain itu, rasanya gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu dari Hoa-san-pay itu tentu juga takkan
terhindar dari akal licik Co Leng-tan dalam waktu tidak lama, satu per satu mereka tentu juga akan menjadi
korban keganasan Co Leng-tan, apakah hal ini kau juga akan tinggal diam?”
Hati Lenghou Tiong tergetar, jawabnya dengan hormat kepada kedua tokoh itu, “Terima kasih atas petunjuk
kedua Cianpwe, Wanpwe pasti akan berbuat sebisanya.”
“Tanggal 15 bulan tiga nanti Lolap dan Tiong-hi Toheng tentu juga akan berkunjung ke Ko-san sekadar ikut
membantu Lenghou-siauhiap,” kata Hong-ting.
“Bila kedua Cianpwe juga hadir, betapa pun Co Leng-tan tak berani berbuat sewenang-wenang,” kata Lenghou
Tiong.
Selesai berunding legalah hati mereka. Dengan tertawa akhirnya Tiong-hi berkata, “Marilah kita kembali saja,
ciangbunjin baru menghilang sekian lamanya, tentu mereka sedang bingung menantikan kau.”
Dari tengah jembatan gantung itu mereka lantas putar balik, tapi baru beberapa langkah, sekonyong-konyong
mereka sama berhenti lagi. Lenghou Tiong lantas membentak, “Siapa itu?”
Rupanya tiba-tiba ia mendengar di ujung jembatan sana terdengar pernapasan orang banyak, terang di dalam
Leng-kui-kok (Loteng Kura-kura Sakti) pada Sian-kong-si di sebelah kiri itu tersembunyi orang.
Baru saja Lenghou Tiong membentak, serentak terdengar suara gedubrakan, beberapa daun jendela Leng-kuikok
tampak didobrak orang, berbareng menongol keluar jendela belasan batang ujung panah yang diarahkan
kepada mereka bertiga. Pada saat yang hampir sama di Sin-coa-kok (Loteng Ular Sakti) di belakang mereka
juga terjadi hal yang serupa, daun jendela juga didobrak dan belasan ujung panah sama mengincar ke arah
mereka.
Hong-ting, Tiong-hi, dan Lenghou Tiong adalah tiga tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman ini, biarpun
berpuluh panah itu diarahkan kepada mereka, pemanahnya juga tentu bukan sembarangan orang, namun
keadaan demikian toh tak bisa mengapa-apakan mereka. Soalnya sekarang mereka berada di tengah jembatan
gantung, di bawahnya adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, luas jembatan itu juga cuma beberapa kaki
saja, ditambah lagi mereka tidak membawa senjata sama sekali, menghadapi keadaan yang luar biasa secara
mendadak ini, mau tak mau terkejut juga mereka.
Sebagai tuan rumah, dengan cepat Lenghou Tiong lantas mengadang ke depan, bentaknya pula, “Kaum celurut
dari mana, mengapa tidak tampakkan diri?”
Terdengarlah suara bentakan seorang, “Panah!”
Cepat Lenghou Tiong bertiga mengayunkan lengan baju masing-masing dengan kencang. Tapi yang terbidik
dari jendela itu ternyata bukan anak panah, tapi adalah belasan jalur panah air, air itu menyembur keluar dari
ujung panah tadi dan diarahkan ke atas udara. Warna air kehitam-hitaman. Menyusul terendus bau busuk yang
aneh, seperti bau bangkai yang sudah membusuk dan menyerupai pula bau udang atau ikan busuk, bau yang
memuakkan itu hampir-hampir saja membikin Lenghou Tiong tumpah-tumpah walaupun lwekang mereka
sangat tinggi.
Sesudah air hitam tadi disemburkan ke udara, kemudian titik-titik air itu bertaburan ke bawah seperti hujan.
Ada beberapa tetes jatuh di atas langkan (pagar kayu) jembatan, dalam sekejap saja langkan itu tampak
membusuk dan membekas lubang-lubang kecil, nyata lihai luar biasa air busuk itu.
Meski Hong-ting dan Tiong-hi sudah berpengalaman, tapi air berbisa sehebat itu belum pernah mereka lihat.
Kalau anak panah atau senjata rahasia biasa rasanya sukar mengenai diri mereka biarpun mereka tak
bersenjata, tapi menghadapi air racun yang bisa menghancurkan benda-benda yang tertetes ini boleh dikata
mereka mati kutu, sebab asal tubuh mereka kecipratan setitik saja mungkin kulit daging mereka akan terus
membusuk sampai ke tulang.
Kedua tokoh itu saling pandang sekejap, kelihatan air muka masing-masing berubah hebat, dari sorot mata
mereka tampak timbul rasa jeri mereka. Padahal biasanya hendak membuat jeri kedua tokoh besar ini boleh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dikata mahasulit.
Setelah air racun tadi disemburkan, lalu di balik jendela sana seorang berseru lantang, “Air berbisa ini hanya
disemburkan ke udara, kalau sekiranya disemprotkan ke tubuh kalian, lalu bagaimana akibatnya?”
Lalu belasan ujung panah tadi kelihatan mulai menggeser ke bawah dan kembali diarahkan kepada Lenghou
Tiong bertiga.
Jembatan gantung itu panjangnya belasan meter yang menghubungkan Leng-kui-kok dan Sin-coa-kok di
kanan-kiri, sekarang di dalam kedua loteng itu sama terpasang pesawat semprot air berbisa, bila pesawatpesawat
itu dikerjakan serentak, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga mereka bertiga sukar
menyelamatkan diri.
Mendengar suara orang tadi, sedikit memikir saja Lenghou Tiong lantas ingat siapa dia, cepat ia berseru, “Hah,
katanya Tonghong-kaucu mengirim utusan untuk mengantar kado padaku, kado yang dia kirim ini sungguh luar
biasa!”
Kiranya orang yang bicara di Leng-kui-kok tadi memang betul adalah Kah Po, itu utusan Tonghong Put-pay.
Karena suaranya telah dikenali Lenghou Tiong, dengan bergelak tertawa ia pun berkata, “Pintar sekali Lenghoukongcu,
dalam sekejap saja dapat mengenali suara Cayhe. Orang pintar tentu tidak mau telan pil pahit, jelas
sekarang Cayhe sudah berada di atas angin dengan sedikit tipu muslihat licik kami, maka sementara ini
maukah Lenghou-kongcu menyerah kalah saja?”
Wi-bin-cun-cia Kah Po, Si Muka Kuning dari Mo-kau ini sengaja bicara di muka dan mengakui dirinya memakai
tipu muslihat licik, dengan demikian ia tidak perlu takut didamprat oleh Lenghou Tiong akan akal busuknya itu.
Dengan tarikan lwekang yang hebat, Lenghou Tiong bergelak tertawa, suaranya menggetar angkasa
pegunungan dan berkumandang, katanya, “Aku dan kedua cianpwe dari Siau-lim dan Bu-tong-pay mengobrol
iseng di sini, kukira yang ada di sini adalah teman baik semua sehingga tiada mengadakan penjagaan apa-apa
sehingga kena diselomoti oleh Kah-heng, sekarang apa mau dikata, tidak mengaku kalah juga tak bisa lagi.”
“Baik sekali jika begitu,” kata Kah Po. “Selamanya Tonghong-kaucu sangat menghormati tokoh angkatan tua
dunia persilatan, beliau juga sangat menghargai tunas angkatan muda. Apalagi Yim-siocia sejak kecil tinggal
bersama Tonghong-kaucu, melulu mengingat pada Yim-siocia saja masakah kami berani berlaku kasar kepada
Lenghou-kongcu.”
Lenghou Tiong mendengus dan tidak menanggapi. Sebaliknya Hong-ting dan Tiong-hi telah memeriksa keadaan
sekitarnya ketika Lenghou Tiong bertanya-jawab dengan Kah Po. Mereka melihat belasan bedil air sama
diacungkan ke arah mereka, bila mereka turun tangan berbareng umpamanya, andaikan sebagian musuh dapat
dirobohkan, tapi sukar rasanya untuk membersihkan musuh yang tak diketahui berapa banyaknya. Asal salah
satu bedil air racun itu sempat menyemburkan airnya, jiwa ketiga orang tentu melayang seketika. Karena itu
mereka hanya saling pandang belaka, dari sorot mata mereka mempunyai suatu pendapat yang sama: tidak
boleh bertindak secara gegabah.
Dalam pada itu terdengar Kah Po bicara pula, “Jika Lenghou-kongcu sudah mau mengaku kalah, maka segala
persoalan menjadi beres. Ketika berangkat aku dan Siangkoan-hiante telah dipesan oleh Tonghong-kaucu agar
mengundang Lenghou-kongcu beserta Hongtiang Taysu dari Siau-lim dan Ciangbun Totiang dari Bu-tong sudi
mampir ke Hek-bok-keh untuk tinggal barang beberapa hari. Sekarang kalian bertiga kebetulan berada di sini
semua, maka kalau sekarang juga kita berangkat bersama, bagaimana pendapat kalian?”
Kembali Lenghou Tiong mendengus, ia pikir di dunia ini masakah ada urusan seenak ini, asalkan pihaknya
bertiga diberi kesempatan meninggalkan jembatan gantung itu, untuk mengatasi Kah Po dan begundalnya
boleh dikata pekerjaan yang tidak sulit.
Benar juga, segera terdengar Kah Po menyambung, “Namun ilmu silat kalian bertiga teramat tinggi, bila di
tengah jalan kalian ganti pikiran dan tidak mau menuju ke Hek-bok-keh, maka sukarlah bagi kami untuk
menunaikan tugas, tanggung jawab yang berat ini terpaksa menyuruh aku meminjam tiga belah tangan kanan
kepada kalian.”
“Pinjam tiga belah tangan kanan?” Lenghou Tiong menegas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Benar,” jawab Kah Po. “Silakan kalian bertiga menebas tangan kanan sendiri-sendiri, dengan demikian legalah
hati kami.”
“Hahahahaha! Kiranya demikian keinginanmu,” seru Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tonghong Put-pay
rupanya takut kepada ilmu silat kami bertiga, maka sengaja memasang perangkap ini untuk memaksa kami
menebas tangan kanan sendiri, jika kehilangan tangan kanan dengan sendirinya kami tidak mampu main
pedang lagi dan dia boleh tidur dengan nyenyak tanpa khawatir lagi.”
“Tidur nyenyak tanpa khawatir sih mungkin juga tidak,” kata Kah Po. “Yang jelas Yim Ngo-heng akan
kehilangan bala bantuan yang kuat sebagai Lenghou-kongcu, maka kekuatannya tentu akan menjadi jauh lebih
lemah.”
“Hm, kata-katamu benar-benar blakblakan tanpa tedeng aling-aling,” ujar Lenghou Tiong.
“Cayhe seorang pengecut tulen,” jawab Kah Po. Lalu ia lantangkan suaranya, “Hong-ting Taysu dan Tiong-hi
Totiang, kalian lebih suka mengorbankan sebelah tangan atau lebih ingin jiwa melayang di sini?”
“Baiklah,” jawab Tiong-hi. “Tonghong Put-pay ingin pinjam tangan, biarlah kita pinjamkan padanya. Cuma kami
tidak membawa sesuatu senjata, untuk menebas lengan menjadi sukar.”
Baru habis ucapannya, tiba-tiba sinar putih gemerdep, sebuah gelang baja terlempar dari jendela sana. Bulat
tengah gelang baja itu mendekati satu kaki (antara 30 senti) dengan pinggiran yang tajam. Di tengah gelang
ada satu palangan yang digunakan pegangan tangan, bentuk gelang demikian adalah sejenis senjata yang
tidak terdaftar dalam senjata umum, biasanya dipakai sepasang gelang baja semacam ini dan disebut “kiankun-
goan”.
Karena Lenghou Tiong berdiri paling depan, maka cepat ia tangkap gelang baja itu.
Ia meringis melihat senjata itu dan mengakui kelicikan Kah Po. Pinggiran gelang baja itu sangat tajam, sekali
bergerak saja sebelah lengan pasti akan tertebas kutung. Tapi kalau diputar, lantaran bentuknya bundar kecil,
betapa pun sukar menahan air yang disemprotkan.
“Jika kalian sudah setuju, nah, lekas kerjakan!” bentak Kah Po dengan suara bengis, “Jangan kalian mengulurulur
waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan. Aku akan menghitung dari satu sampai tiga! Jika kalian
tidak lekas mengutungi lengan sendiri, serentak air racun akan disemburkan! Satu....”
Di bawah ancaman Kah Po itu, terpaksa Lenghou Tiong mencari jalan keluar, katanya dengan suara lirih kepada
kedua kawannya, “Aku akan menerjang ke depan, harap kedua Cianpwe ikut di belakangku!”
“Jangan!” kata Tiong-hi.
Dalam pada itu Kah Po telah berseru pula, “Dua!”
Lenghou Tiong angkat gelang baja tadi, ia pikir Hong-ting dan Tiong-hi adalah tamu, betapa pun tak boleh
membikin susah kedua orang itu. Kalau musuh mengucapkan “tiga” nanti segera kusambitkan gelang baja ini,
lalu kuterjang sambil putar lengan baju, asalkan air berbisa itu semua tersemprot ke tubuhku, maka kedua
locianpwe itu tentu ada kesempatan untuk lolos.
Sementara itu Kah Po telah berseru pula, “Semuanya siap, hitungan terakhir ‘tiga’!”
Pada saat yang sama itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang perempuan di dalam Leng-kui-kok itu,
“Nanti dulu!” menyusul sesosok bayangan hijau melayang tiba dan mengadang di depan Lenghou Tiong.
Ternyata Ing-ing adanya.
Sebelah tangan Ing-ing tampak goyang-goyang di belakang tubuhnya, lalu serunya menghadap ke sana, “Kahsioksiok,
betapa cemerlangnya nama Wi-bin-cun-cia di dunia Kangouw, mengapa sekarang melakukan
perbuatan rendah seperti ini?”
“Urusan ini... Toasiocia, harap engkau menyingkir dulu, janganlah ikut campur!” jawab Kah Po.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ing-ing pula. “Tonghong-sioksiok suruh kau bersama Siangkoan-sioksiok
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengantar kado untukku, mengapa kau kena disogok oleh Co Leng-tan dan berbalik memusuhi ketua Hingsan-
pay?”
“Siapa bilang aku terima sogok dari Co Leng-tan?” Kah Po menyangkal. “Aku mendapat perintah rahasia
Tonghong-kaucu agar menangkap Lenghou Tiong.”
Bab 105. Lolos dari Lubang Jarum
“Jangan kau mengaco-belo tak keruan,” bentak Ing-ing. “Ini, Tiat-bok-leng (kayu besi tanda pengenal) Kaucu
berada padaku. Menurut perintah Kaucu, Kah Po telah mengadakan persekutuan jahat, hendaklah setiap
anggota segera menangkap dan membunuhnya bila melihatnya, untuk mana hadiah disediakan.”
Habis berkata ia terus acungkan tangannya tinggi-tinggi, benar juga sepotong kayu hitam yang dikenal sebagai
Tiat-bok-leng memang betul dia pegang.
Kah Po menjadi gusar dan segera memberi aba-aba, “Lepas panah!”
“Kau berani?” Ing-ing balas membentak. “Apakah Tonghong-kaucu suruh kau membunuh aku?”
“Kau membangkang perintah Kaucu....”
Tapi Ing-ing lantas menyela, “Siangkoan-sioksiok, tangkap dulu pengkhianat Kah Po itu dan kau segera naik
pangkat menjadi Kong-beng-cosu.”
Kedudukan Kah Po memang lebih tinggi setingkat daripada Siangkoan In, padahal kepandaian Siangkoan In
lebih tinggi, hal ini memangnya sudah membuatnya sirik, sekarang ada seruan Ing-ing, mau tak mau ia
menjadi tergerak hatinya dan ragu-ragu pula. Sudah tentu ia pun mengetahui Ing-ing adalah putri Yim-kaucu
yang dahulu, biasanya Tonghong-kaucu sangat menghargainya, walaupun akhir-akhir ini tersiar kabar Yimkaucu
tampil lagi di dunia Kangouw dan bermaksud merebut kembali kedudukan kaucu, ia menduga di antara
Tonghong-kaucu dan Yim-siocia tentu juga akan terjadi perselisihan. Tapi kalau sekarang disuruh
memerintahkan anak buahnya menyemprotkan air berbisa kepada Ing-ing, hal ini pun tak bisa dilakukan
olehnya.
Dalam pada itu Kah Po memberi aba-aba pula, “Panah!”
Namun anak buahnya itu selama ini memandang Ing-ing sebagai malaikat dewata yang dipuja, apalagi terlihat
padanya memegang Tiat-bok-leng, tentu saja mereka tidak berani sembarangan bertindak padanya.
Di tengah suara yang tegang itu, sekonyong-konyong di bawah loteng Leng-kui-kok itu ada orang berseru,
“Api! Api! Kebakaran!”
Menyusul terlihatlah sinar api menganga disertai mengepulnya asap dari bawah.
“Keji benar kau, Kah Po!” seru Ing-ing. “Mengapa kau menyalakan api untuk membakar anak buahmu sendiri?”
“Ngaco-be....” namun belum habis Kah Po membantah, cepat Ing-ing menyela pula, “Lekas padamkan api
dahulu!”
Berbareng ia terus mendahului menerjang ke sana, kesempatan baik ini segera diikuti oleh Lenghou Tiong,
Hong-ting, dan Tiong-hi bertiga untuk berlari ke depan. Serentak mereka membobol jendela dan menerjang ke
dalam.
Begitu mereka menyerbu ke dalam loteng, maka lumpuhlah seluruh alat pesawat panah air berbisa tadi.
Lenghou Tiong menerjang ke arah altar terus menyambar sebuah tatakan lilin yang berujung tajam, sekali ia
entakkan tatakan lilin, sepotong lilin yang masih menancap di situ terus mencelat dan merobohkan seorang
anak buah Kah Po. Menyusul tatakan lilin lantas bekerja pula, hanya sekejap saja enam-tujuh orang telah
dibinasakan pula. Di sebelah sana Hong-ting dan Tiong-hi juga sedang melabrak musuh, dengan cepat mereka
pun telah membereskan tujuh-delapan orang.
Kedatangan Kah Po dan Siangkoan In kali ini seluruhnya membawa 40 buah peti, setiap petinya digotong dua
orang sehingga semuanya ada 80 pengikut. Kedelapan puluh orang itu semuanya adalah jago pilihan TiauDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang-sin-kau, walaupun bukan jago kelas satu, namun cukup tangguh ilmu silat masing-masing. Empat puluh
orang di antaranya tersebar di sekeliling Sian-kong-si, 40 orang lagi bertugas memasang panah air yang
terbagi di dua loteng Leng-kui-kok dan Sin-coa-kok.
Begitulah dalam sekejap saja Lenghou Tiong bertiga sudah membereskan ke-20 anak buah Kah Po, pesawat
panah air berbisa itu berantakan tersebar memenuhi lantai. Dengan bersenjatakan sepasang boan-koan-pit
tampak Kah Po sedang menempur Ing-ing dengan sengitnya. Senjata yang dipakai Ing-ing adalah sepasang
pedang, pedang yang satu panjang dan yang lain pendek.
Selama Lenghou Tiong berkenalan dengan Ing-ing baru sekarang ia menyaksikan dengan jelas kepandaian si
nona, cara menyerangnya sangat cepat, tempat yang diarah selalu yang berbahaya. Sebaliknya boan-koan-pit
yang digunakan Kah Po tampak tidak kurang lihainya, agaknya bobotnya tidak ringan, terbukti dari sambaran
angin yang terjangkit ketika senjatanya bergerak.
Ing-ing selalu menghindari senjatanya beradu dengan senjata lawan dan menyerang pada saat yang tepat dan
tempat yang mematikan.
“Binatang, tidak lekas menyerah saja!” bentak Hong-ting kepada Kah Po.
Tapi Kah Po sudah kalap, mendadak kedua boan-koan-pit-nya menikam ke leher Ing-ing, Keruan Lenghou
Tiong kaget, khawatir Ing-ing tidak sanggup menghindarkan serangan maut itu, tanpa pikir tatakan lilin yang
berujung tajam itu pun ditusukkan ke depan. “Cret”, dengan cepat luar biasa pergelangan tangan Kah Po
tertusuk sekaligus.
Karena itu boan-koan-pit Kah Po terlepas dari cekalan, namun dia memang sangat tangkas, segera ia
menubruk ke arah Lenghou Tiong sambil menghantam dengan kedua telapak tangan. Tapi Hong-ting keburu
menyela dari samping, sekali pegang kedua tangan Kah Po itu kena dicengkeram olehnya.
Sekuatnya Kah Po meronta, tapi aneh, betapa pun sukar melepaskan diri dari pegangan Hong-ting itu, segera
ia angkat sebelah kakinya, terus menendang ke selangkangan Hong-ting.
Serangan ini benar-benar sangat keji, Hong-ting menghela napas dan terpaksa mendorongkan kedua
tangannya ke depan. Kah Po tidak mampu berdiri tegak lagi, ia terlempar ke luar dan menerobos pintu terus
terjerumus ke bawah. Terdengarlah suara jeritan ngeri yang terus berkumandang, makin lama makin jauh
sampai akhirnya lenyap di dalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.
“Untung kau datang menolong tepat pada waktunya!” kata Lenghou Tiong kepada Ing-ing.
“Ya, memang untung kedatanganku tidak terlambat,” jawab Ing-ing dengan tersenyum. Lalu ia berseru pula,
“Padamkan api!”
Terdengar ada orang mengiakan di bawah loteng. Kiranya api yang berkobar di bawah itu sengaja dinyalakan
untuk mengacaukan perhatian Kah Po, api itu cuma pembakaran rumput kering ditabur dengan bahan bakar
lain saja, jadi bukan kebakaran sungguh-sungguh.
Ing-ing mendekati jendela dan berseru ke Sin-coa-kok di depan sana, “Siangkoan-sioksiok, Kah Po
membangkang perintah sehingga mendapatkan ganjarannya yang setimpal, kau sendiri bolehlah kemari
bersama anak buahmu, aku takkan membikin susah padamu.”
“Toasiocia, ucapanmu harus dapat dipercaya,” jawab Siangkoan In.
“Aku bersumpah asalkan Siangkoan-sioksiok mau tunduk kepada perintahku, aku berjanji takkan membikin
susah padanya, kalau melanggar sumpah ini biarlah aku mati membusuk dimakan ulat,” dengan sumpah Inging
yang paling berat menurut kebiasaan di dalam Tiau-yang-sin-kau maka legalah hati Siangkoan In, segera ia
pimpin 20 anak buahnya keluar dari tempat sembunyinya.
Ketika Lenghou Tiong berempat turun ke bawah Leng-kui-kok, tertampak Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lainlain
sudah menanti di situ.
“Dari mana kau mendapat tahu Kah Po akan menyergap kami?” tanya Lenghou Tiong kepada Ing-ing.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kupikir masakah Tonghong Put-pay begitu baik hati mau mengirim kado untukmu?” tutur Ing-ing. “Semula
kusangka di dalam peti-peti antarannya mungkin tersembunyi sesuatu akal keji, kemudian kulihat tingkah laku
Kah Po rada mencurigakan, malahan membawa pengikutnya menuju ke sini. Aku tambah curiga dan coba
menjenguk ke sini bersama Lo-siansing dan lain-lain. Ternyata beberapa penjaga di bawah sana melarang kami
naik ke sini, keruan rahasia mereka lantas ketahuan.”
Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain sama bergelak tertawa. Sebaliknya Siangkoan In menunduk malu.
“Siangkoan-sioksiok, selanjutnya kau ikut padaku atau tetap ikut Tonghong Put-pay?” tanya Ing-ing.
Air muka Siangkoan In berubah hebat, sesaat itu ia merasa sulit kalau dia disuruh mengkhianati Tonghong Putpay.
Dengan lantang Ing-ing berkata pula, “Di antara kesepuluh tianglo dari Tiau-yang-sin-kau kita sudah ada enam
tianglo yang makan pil Sam-si-nau-sin-tan dari ayahku. Sebiji pil ini akan kau makan atau tidak?”
Habis berkata ia terus menjulurkan tangannya, satu biji pil merah tampak berputar-putar di tengah telapak
tangannya.
“Apakah betul enam di antara ke... kesepuluh tianglo kita sudah... sudah....”
“Betul,” sela Ing-ing. “Selamanya kau belum pernah bekerja bagi ayahku, akhir-akhir ini kau ikut Tonghong
Put-pay, tapi tidak berarti mengkhianati ayahku. Asalkan kau mau meninggalkan yang gelap dan kembali ke
jalan yang terang, sudah tentu aku akan menghargai kau, ayah juga pasti akan memberi penilaian lain
padamu.”
Siangkoan In pikir kalau tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang, keadaan memaksa, mau tak mau ia
ambil pil merah di tangan Ing-ing itu terus ditelan. Katanya, “Selanjutnya Siangkoan In terima di bawah
perintah Toasiocia.”
Berbareng ia pun memberi hormat.
“Selanjutnya kita adalah orang sendiri, tidak perlu kau banyak adat,” kata Ing-ing. “Para anak buahmu ini
dengan sendirinya mengikuti jejakmu, bukan?”
Siangkoan In memandang kepada ke-20 pengikutnya. Melihat pemimpinnya sudah menyerah, tanpa diperintah
lagi serentak orang-orang itu lantas menyembah kepada Ing-ing dan berseru, “Kami tunduk semua di bawah
perintah Seng-koh!”
Sementara itu para kesatria sudah memadamkan api, mereka pun ikut bersyukur dan gembira bahwa Ing-ing
telah berhasil menundukkan Siangkoan In. Maklumlah ilmu silat Siangkoan In cukup tinggi, kedudukannya juga
penting di dalam Tiau-yang-sin-kau, kalau dia juga takluk kepada Ing-ing, maka bagi usaha Yim Ngo-heng
untuk merebut kembali kedudukan kaucu tentu akan besar bantuannya.
Melihat urusan sudah beres, Hong-ting dan Tiong-hi lantas mohon diri. Lenghou Tiong mengantar
keberangkatan kedua tokoh itu hingga jauh barulah ambil perpisahan.
Ketika menuju kembali ke Kian-seng-hong, Ing-ing berkata kepada Lenghou Tiong, “Toako, kau sendiri sudah
menyaksikan betapa keji dan licinnya Tonghong Put-pay dengan segala akal busuknya. Saat ini ayah dan
Hiang-sioksiok sedang menjumpai dan membujuk kenalan-kenalan lama yang punya kedudukan penting di
dalam agama agar mereka mau mendukung pimpinan lama. Bila mereka mau menerima dengan baik ajakan
ayah itu tentunya tidak menjadi soal, tapi kalau ada yang menentang, satu per satu lantas dibereskan sekalian
untuk mengurangi kekuatan Tonghong Put-pay. Sementara ini Tonghong Put-pay juga telah mengadakan
serangan balasan, seperti kejadian ini, dia mengirim Kah Po dan Siangkoan In untuk menjebak kau, ini benarbenar
suatu langkah yang sangat lihai. Soalnya ayah dan Hiang-sioksiok sukar dicari jejaknya sehingga
Tonghong Put-pay tidak mampu menemukan mereka, sebaliknya kalau kau sampai kena dicelakai, sungguh
aku... aku....” sampai di sini air mukanya menjadi merah, cepat ia berpaling.
Angin malam meniup sepoi-sepoi, rambut Ing-ing yang halus itu tersiah ke atas sehingga tampak lehernya
yang jenjang dan putih bersih, hati Lenghou Tiong terguncang, pikirnya, “Bahwasanya dia mencintai aku, hal
ini telah diketahui umum, sampai-sampai Tonghong Put-pay juga ingin menangkap aku sebagai sandera untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
memaksakan kehendaknya padanya dan selanjutnya untuk memaksa ayahnya. Ketika di jembatan gantung di
Sian-kong-si tadi, sudah jelas mengetahui betapa lihainya air berbisa, tapi dia rela mengadang di depanku.
Punya istri sesetia ini, apa lagi yang kuharapkan lagi?”
Tanpa terasa lengannya menjulur dan bermaksud memeluk pinggang si nona.
Ing-ing mengikik tawa, sedikit mengegos, tempat kosonglah yang dipeluk oleh Lenghou Tiong. Kata Ing-ing
dengan tertawa, “Masakah begini kelakuan seorang ciangbunjin yang terhormat?”
“Memangnya di seluruh dunia ini hanya ciangbunjin dari Hing-san-pay yang paling istimewa,” jawab Lenghou
Tiong dengan menyengir.
“Mengapa kau berkata demikian, Toako?” ujar Ing-ing dengan sungguh-sungguh. “Bahkan ketua-ketua Siaulim
dan Bu-tong juga menghargai dirimu, siapa lagi yang berani memandang rendah padamu? Biarpun gurumu
mengusir kau dari Hoa-san-pay, tapi jangan kau senantiasa memikirkan soal ini sehingga selalu merasa rendah
diri.”
Kata-kata Ing-ing ini benar-benar kena di lubuk hati Lenghou Tiong, memang soal dipecatnya dari perguruan
selama ini tetap mengganjal di dalam hatinya. Maka ia tidak menjawab, ia hanya menghela napas dan
menunduk.
“Toako,” kata Ing-ing pula sambil pegang tangan Lenghou Tiong, “sebagai ketua Hing-san-pay, kau telah
menonjol di depan para kesatria sejagat. Hing-san dan Hoa-san selalu pada tingkatan yang sama, memangnya
sebagai ketua Hing-san-pay kau rasakan tidak lebih terhormat daripada seorang anak murid Hoa-san-pay?”
“Banyak terima kasih atas bujukanmu,” jawab Lenghou Tiong. “Aku hanya merasa kedudukanku sebagai
pemimpin kawanan nikoh rada-rada lucu dan serbarunyam.”
“Tapi hari ini sudah ada ribuan kesatria yang minta menjadi anggota Hing-san-pay, bicara tentang pengaruh
dan kekuatan boleh dikata hanya Ko-san-pay saja yang masih mampu menandingi kau, selain itu masakah
Hoa-san-pay dan lain-lain dapat memadai kau?”
“Dalam urusan ini aku masih harus berterima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong.
“Terima kasih apa?” katanya Ing-ing tertawa.
“Kau khawatir aku merasa kurang gemilang menjadi pemimpin kaum nikoh, maka sengaja mengirim anak
buahmu sebanyak ini untuk memasuki Hing-san-pay. Kalau bukan perintah Seng-koh masakah kawanan
berandalan sebanyak itu mau datang padaku untuk menerima perintah begitu saja?”
“Juga belum tentu benar seluruhnya,” ujar Ing-ing. “Tatkala kau menyerbu Siau-lim-si bukankah mereka pun
tunduk semua di bawah perintahmu?”
Sambil bicara, tanpa terasa sudah dekat dengan biara induk, sayup-sayup sudah terdengar suara berisik orang
banyak. Ing-ing lantas berhenti dan berkata, “Toako, sementara ini kita berpisah dulu, bila urusan penting ayah
sudah beres tentu aku akan datang menjenguk kau.”
Terdorong oleh perasaan hangat hatinya, Lenghou Tiong berkata, “Apakah kau akan berangkat ke Hek-bokkeh?”
Ing-ing mengiakan.
“Aku ikut!” kata Lenghou Tiong.
Seketika biji mata Ing-ing memancarkan sinar yang penuh gembira, tapi perlahan-lahan ia menggeleng malah.
“Kau tidak ingin aku ikut ke sana?” Lenghou Tiong menegas.
“Baru saja kau menjadi ketua Hing-san-pay, rasanya kurang pantas bila sekarang kau ikut campur urusan Tiauyang-
sin-kau kami,” kata Ing-ing.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tapi menghadapi Tonghong Put-pay adalah pekerjaan yang amat berbahaya, masakah aku harus tinggal diam
membiarkan kau menghadapi bahaya?” ujar Lenghou Tiong.
“Tapi di sini tinggal kawanan berandalan sebanyak itu, siapa berani mengatasi mereka jika ada yang
mengganggu nona-nona jelita Hing-san-pay kalian?” kata Ing-ing.
“Asalkan kau memberikan perintah tegas, betapa pun kukira mereka tak berani main gila.”
“Baiklah, atas kesediaanmu ikut ke Hek-bok-keh, atas nama ayah kusampaikan terima kasih.”
“Buat apa kita saling terima kasih kian-kemari seperti orang luar saja.”
“Baik, kalau lain kali aku tidak tahu terima kasih janganlah kau salahkan aku,” sahut Ing-ing dengan tertawa.
Setelah kedua orang kembali di Kian-seng-hong, mereka lalu memberi pesan kepada anak buah masingmasing.
Lenghou Tiong menyuruh para murid Hing-san-pay giat belajar. Ing-ing memberi perintah kepada para
kesatria agar hidup prihatin, selanjutnya mereka dilarang naik ke Kian-seng-hong tanpa dipanggil, siapa yang
melanggar akan dihukum potong kaki.
Besok paginya berangkatlah Lenghou Tiong, Ing-ing, Siangkoan In, dan ke-20 anak buahnya yang tersisa.
Hek-bok-keh itu terletak di wilayah Hopak, dari Hing-san mereka menuju ke timur. Suatu hari sampailah
mereka di Pengting. Sepanjang jalan Lenghou Tiong dan Ing-ing menumpang di dalam kereta dengan tirai
tertutup untuk menghindari mata-mata Tonghong Put-pay. Malam itu mereka cari penginapan di Pengting.
Kota itu sudah tidak jauh lagi dengan markas besar Tiau-yang-sin-kau, di dalam kota banyak berseliweran
anggota-anggota Mo-kau itu. Siangkoan In menugaskan empat anak buahnya menjaga di sekitar hotel, orang
yang tak berkepentingan dilarang keras mendekat.
Waktu makan malam, Ing-ing mengiringi Lenghou Tiong minum arak. Cahaya api lilin yang berkedip-kedip
makin menambah kemolekan Ing-ing.
Setelah menenggak tiga mangkuk arak, berkatalah Lenghou Tiong, “Ing-ing, ketika di Siau-lim-si tempo hari
ayahmu mengatakan beliau hanya mengagumi tiga setengah tokoh besar pada zaman ini, di antaranya
Tonghong Put-pay adalah orang utama yang dikaguminya. Kalau orang ini mampu merampas kedudukan kaucu
dari tangan ayahmu, sudah tentu ia adalah seorang mahapintar menurut cerita orang Kangouw, katanya ilmu
silatnya Tonghong Put-pay nomor satu di dunia ini, entah betul tidak berita demikian ini?”
“Bahwa Tonghong Put-pay ini seorang yang mahacerdik dan banyak tipu akalnya memang tidak perlu
disangsikan lagi,” jawab Ing-ing. “Tentang sampai di mana tinggi ilmu silatnya, tidaklah begitu jelas bagiku,
soalnya beberapa tahun terakhir ini aku sangat jarang menjumpai dia.”
“Ya, tentunya kau lebih sering tinggal di Kota Lokyang sehingga jarang menjumpai dia,” ujar Lenghou Tiong.
“Bukan begitu. Meski aku tinggal di Lokyang, tapi setiap tahun aku tentu pulang ke Hek-bok-keh satu atau dua
kali, tapi meski pulang ke sana toh jarang pula bertemu dengan Tonghong Put-pay. Menurut cerita para tianglo
di sana akhir-akhir ini makin sukar untuk bertemu dengan sang kaucu.”
“Mungkin orang yang berkedudukan tinggi sering kali sengaja tahan harga agar lebih diagungkan orang,” kata
Lenghou Tiong.
“Itu memang salah satu alasan tepat. Tapi kuduga tentunya dia sedang giat meyakinkan ilmu dalam Kui-hoapo-
tian sehingga tak ingin pemusatan pikirannya terganggu.”
“Ayahmu pernah bercerita padaku, katanya dahulu dia terlalu asyik meyakinkan cara-cara memunahkan
bergolaknya hawa murni yang disedot oleh Gip-sing-tay-hoat sehingga urusan pekerjaan sehari-hari tak
dihiraukan, kesempatan ini telah digunakan Tonghong Put-pay untuk merebut kekuasaan, apakah mungkin
sekarang Tonghong Put-pay mengulangi lagi jejak ayahmu itu?”
“Sejak Tonghong Put-pay tidak banyak memegang pekerjaan agama, akhir-akhir ini semua kekuasaan boleh
dikata hampir jatuh ke tangan bocah she Nyo itu. Bocah itu takkan merampas kedudukan Tonghong Put-pay,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
maka tentang terulangnya peristiwa dahulu boleh tidak perlu dikhawatirkan.”
“Bocah she Nyo katamu? Siapakah dia? Mengapa selama ini belum pernah kudengar?”
Tiba-tiba wajah Ing-ing tampak perasaan rikuh, katanya dengan tersenyum, “Kalau bicara tentang dia hanya
bikin kotor mulut saja. Orang di dalam agama yang tahu seluk-beluknya tidak ada yang sudi
membicarakannya, orang luar agama tiada yang tahu, dengan sendirinya kau pun tidak pernah dengar tentang
dia.”
Tambah tertarik rasa ingin tahu Lenghou Tiong, pintanya, “Adik yang manis, coba ceritakanlah padaku.”
“Bocah she Nyo itu lengkapnya bernama Nyo Lian-ting usianya belum ada 30, ilmu silatnya rendah, tidak
mampu bekerja pula. Tapi akhir-akhir ini Tonghong Put-pay justru sangat sayang dan percaya padanya,
sungguh sukar dimengerti.”
Sampai di sini wajah Ing-ing kembali bersemu merah, mulutnya mencibir dengan sikap yang menghina.
“Ah, barangkali kau maksudkan bocah she Nyo itu adalah ‘gendak’ Tonghong Put-pay? Sungguh tidak nyana,
seorang kesatria seperti dia ternyata juga suka... suka main begituan.”
“Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi, aku pun tidak tahu apa yang dikehendaki Tonghong Put-pay. Yang jelas
segala urusan hampir dia serahkan kepada Nyo Lian-ting sehingga banyak kawan-kawan dalam agama yang
menjadi korban keculasan orang she Nyo itu, sungguh dia pantas dibinasakan.”
Sampai di sini, sekonyong-konyong di luar jendela ada orang tertawa dan berseru, “Ucapanmu salah,
sebaliknya kita harus berterima kasih kepada bocah she Nyo itu.”
“Ayah!” seru Ing-ing dengan girang, cepat ia membukakan pintu.
Tertampaklah Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian melangkah masuk, keduanya sama-sama berdandan sebagai
orang kampung dengan baju kasar, memakai kopiah buntut. Kalau tidak mendengar suaranya tentu sukar
mengenalnya. Segera Lenghou Tiong memberi hormat dan suruh pelayan menambah makanan.
“Akhir-akhir ini aku dan Hiang-hiante mengadakan hubungan kenalan-kenalan lama di dalam agama, hasilnya
ternyata sangat memuaskan,” tutur Yim Ngo-heng. “Sebagian besar di antara mereka menyambut kembaliku
dengan girang, katanya akhir-akhir ini Tonghong Put-pay sudah mendekati kebangkrutan karena dijauhi oleh
pengikut-pengikutnya. Terutama bocah she Nyo itu, asalnya cuma seorang keroco, lantaran bisa memelet
Tonghong Put-pay sehingga memegang kekuasaan, lalu banyak lagak, tidak sedikit tokoh-tokoh ternama dan
berjasa di dalam agama yang telah menjadi korbannya. Cara perbuatan bocah she Nyo itu bukankah berbalik
membantu usaha kita, bukankah kita harus berterima kasih padanya malah?”
Ing-ing mengiakan, lalu ia tanya, “Dari mana kalian mengetahui kedatangan kami, Ayah?”
“Hiang-hiante sudah berkelahi dulu dengan Siangkoan In, kemudian baru diketahui dia telah tunduk padamu,”
kata Yim Ngo-heng dengan tertawa.
“Hiang-sioksiok tidak melukai dia, bukan?” tanya Ing-ing.
“Tidaklah gampang untuk melukai Siangkoan In,” ujar Hiang Bun-thian dengan tersenyum.
Bicara sampai di sini, terdengar di luar riuh ramai dengan suara suitan yang tajam melengking mendirikan bulu
roma di malam sunyi.
“Apakah Tonghong Put-pay mengetahui kedatangan kita?” kata Ing-ing. Lalu ia berpaling dan menjelaskan
kepada Lenghou Tiong, “Suara suitan ramai itu adalah tanda penggerebekan musuh atau menangkap kaum
pengkhianat. Bila mendengar tanda-tanda itu serentak para anggota dalam agama harus siap siaga.”
Selang tidak lama, terdengar empat ekor kuda dilarikan dengan cepat sekali lewat di depan hotel, ada
penunggang kuda itu berseru, “Atas titah Kaucu, tianglo penguasa Hong-lui-tong, Tong Pek-him, bersekongkol
dengan musuh dan bermaksud memberontak, diperintahkan segenap anggota bantu menangkapnya segera,
bila melawan boleh dibunuh tanpa perkara.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tong-pepek yang dimaksudkan? Mana bisa?” ujar Ing-ing tidak percaya.
“Tajam juga sumber berita Tonghong Put-pay, kemarin dulu kami baru saja bicara dengan Kakek Tong dan kini
hal ini sudah diketahui olehnya,” kata Yim Ngo-heng.
Ing-ing merasa lega, tanyanya, “Jadi Tong-pepek juga menyanggupi membantu kita?”
“Mana dia mau mengkhianati Tonghong Put-pay,” jawab Yim Ngo-heng. “Lama sekali aku dan Hiang-hiante
bicara dengan dia, namun tetap sukar mengubah pendiriannya, akhirnya dia berkata, ‘Hubunganku dengan
Tonghong-kaucu boleh dikata sehidup-semati, hal ini cukup diketahui kalian, tapi sekarang kalian sengaja
membujuk aku, jelas kalian memandang hina padaku dan anggap aku sebagai pengecut yang suka menjual
kawan. Memang akhir-akhir ini Tonghong-kaucu tidak sedikit berbuat kesalahan-kesalahan lantaran
dipengaruhi oleh orang busuk, tapi biarpun nanti Tonghong-kaucu akan hancur lebur juga aku orang she Tong
takkan berbuat sesuatu apa pun yang tidak baik padanya. Aku mengaku bukan tandingan kalian berdua, jika
mau bunuh bolehlah kalian bunuh saja diriku.’
“Kakek Tong itu memang tua-tua keladi, makin tua makin berapi.”
“Sungguh seorang kesatria sejati, seorang kawan baik,” ujar Lenghou Tiong.
“Jika dia sudah menolak bujukan ayah, mengapa sekarang Tonghong Put-pay hendak menangkap dia malah?”
tanya Ing-ing.
“Ini namanya dunianya sudah berbalik,” ujar Hiang Bun-thian. “Umur Tonghong Put-pay belum terlalu tua, tapi
tindak tanduknya sudah tidak keruan. Kawan karib yang setia seperti Tong Pek-him itu hendak dia cari lagi di
mana?”
“Tapi dengan bentrokan Tonghong Put-pay dengan Tong Pek-him, itu berarti menguntungkan malah usaha
kita,” kata Yim Ngo-heng tertawa. “Marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan.”
Mereka berempat lantas mengangkat cawan sebagai tanda selamat dan bersyukur.
Lalu Ing-ing menjelaskan kepada Lenghou Tiong, katanya, “Tong-pepek itu adalah seorang tokoh angkatan tua
agama kami, dahulu dia telah banyak berbuat jasa sehingga dia sangat dihormati. Biasanya dia tidak begitu
cocok dengan ayah, tapi sangat karib dengan Tonghong Put-pay. Sepantasnya betapa pun dia berbuat
kesalahan seharusnya Tonghong Put-pay akan dapat mengampuni dia.”
“Tonghong Put-pay hendak menangkap Tong Pek-him, sudah tentu Hek-bok-keh sekarang sedang kacau, ini
adalah kesempatan yang paling bagus bagi kita untuk naik ke sana,” kata Yim Ngo-heng.
“Bagaimana kalau kita undang Siangkoan In untuk diajak berunding?” tanya Bun-thian.
“Bagus,” jawab Yim Ngo-heng.
Setelah Hiang Bun-thian keluar, tidak lama dia masuk lagi bersama Siangkoan In. Begitu melihat Yim Ngoheng,
segera Siangkoan In memberi sembah hormat, “Hamba Siangkoan In menyampaikan hormat kepada
Kaucu, semoga Kaucu panjang umur dan merajai Kangouw.”
Dengan tertawa Yim Ngo-heng menjawab, “Siangkoan-hengte, kudengar kau adalah seorang laki-laki yang
keras, mengapa pertemuan pertama ini kau sudah mengucapkan kata-kata demikian?”
Siangkoan In melengak bingung, jawabnya kemudian, “Hamba tidak paham, mohon Kaucu memberi
penjelasan.”
Ing-ing lantas menyela, “Ayah, apa barangkali engkau merasa heran terhadap istilah-istilah yang diucapkan
Siangkoan-sioksiok?”
“Ya, aku merasa seperti menjadi raja dengan istilah-istilah sanjung puji yang luar biasa itu,” kata Yim Ngoheng.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Istilah-istilah itu sengaja ditetapkan oleh Tonghong Put-pay agar anak buahnya selalu mengucapkan sanjung
puji demikian bila berhadapan padanya,” tutur Ing-ing. “Rupanya Siangkoan-sioksiok sudah biasa pakai istilahistilah
itu sehingga kepada ayah juga digunakan kata-kata yang sama.”
“O, kiranya demikian,” kata Yim Ngo-heng. “Siangkoan-hengte, kabarnya Tonghong Put-pay ada perintah
menangkap Tong Pek-him, kukira saat demikian suasana di Hek-bok-keh tentu kacau-balau, bagaimana kalau
malam ini juga kita lantas naik ke atas sana?”
Siangkoan In mengiakan dengan macam-macam istilah sanjung puji pula yang lebih “seram”. Keruan Yim Ngoheng
mengerut kening. Padahal Siangkoan In terkenal ilmu silatnya tinggi, wataknya juga terkenal keras dan
tulus, mengapa sekarang juga pandai menjilat dengan macam-macam perkataan yang menjijikkan.
“Ayah,” Ing-ing lantas menyela, “untuk menyusup ke Hek-bok-keh sebaiknya kita menyamar saja supaya tidak
dikenal musuh. Yang lebih penting lagi adalah kita harus hafal kode-kode yang sedang populer di Hek-bok-keh,
yaitu istilah-istilah sanjung puji sebagaimana diucapkan Siangkoan-sioksiok tadi. Istilah-istilah demikian
sebenarnya adalah bikinan Nyo Lian-ting yang sengaja digunakan untuk menjilat Tonghong Put-pay. Rupanya
Tonghong Put-pay juga sangat senang menerima pujian-pujian semacam itu, kalau bawahannya tidak
mengucapkan kata-kata pujian seperti itu lantas dianggap berdosa dan dijatuhi hukuman, bahkan
dibinasakan.”
“Kalau ketemu Tonghong Put-pay, kau sendiri juga gunakan istilah-istilah begitu?” tanya Yim Ngo-heng.
“Tinggalnya di Hek-bok-keh, apa mau dikata terpaksa harus mengikuti peraturan mereka,” jawab Ing-ing.
“Sebabnya Anak lebih sering tinggal di Lokyang justru untuk menghindari rasa muak terhadap tingkah laku
mereka.”
“Siangkoan-hengte, selanjutnya kita tidak perlu pakai cara-cara demikian,” kata Yim Ngo-heng kemudian.
“Baik,” jawab Siangkoan In, akan tetapi toh masih ditambahkannya pula, “kebijaksanaan Kaucu yang mahaadil
tentu akan hamba patuhi, semoga Kaucu panjang umur hidup abadi.”